Kawan. Kalau di film horror Barat, pastilah tokohnya memiliki stabilisas yang memuncak. Awalnya ketakutan diancam oleh pembunuh, stress dan muak, akhirnya malah dia yang melawan pembunuhnya. Nah, seperti itulah keadaanku dengan teman-teman disana. Kami muak dengan seru-seruan tsunami dimana-mana.
Akhirnya aku lelah dan duduk di trotoar, menangis. Tak jauh darisana, ada orang gila yang sedang duduk melamun. Melihat massa yang begitu banyak, ia tak sia-siakan kesempatannya untuk berorasi.
“ Bumi Indonesia, akan berkobar suatu hari! Merdeka!”, teriaknya lantang sambil mengepalkan tinju keatas. Setelah itu ia tertawa. Satu hal yang kupelajari hari itu. Mau keadaan stabil ataupun panik seperti ini, orang yang dianggap gila tak akan pernah didengar. Padahal jika kucerna orasi-nya sedikit menggugah jiawa patriotisme. Hanya saja bulan Agustus masih 2 bulan lagi saat itu.
Dan kupikir betapa enaknya jadi orang gila itu. Ia tidak perlu panik memikirkan nyawa. Ia makan, tidur, tertawa dan dilindungi oleh alam pikirannya. Tidak seperti kami yang saat itu ketakutan, gelisah apakah hari ini benar kiamat? Apakah masih bisa makan? Apa masih hidup?
Sambil mengeluarkan Al-Qur’an dan tadarus bersama Nita dan Tyas. Jika diingat konyol memang, tapi itulah yang terjadi. Aku lupa baca surat apa, yang jelas salah satu juzz amma :D.
Setelah itu aku berwudhu di mesjid dekat situ, berniat shalat dhuha dan ketika sedang memasang kaos kaki, ada getaran lagi. Gempa susulan ternyata. Aku pun buru-buru memasang kaos kaki dan tidak jadi shalat. Aku duduk di trotoar lagi sambil harap-harap cemas.
Kupikir, akankah aku mati hari ini?
Tiba-tiba terlihat arak-arakan dari arah barat di jalan raya. Seorang polisi yang dibonceng bersuara, “ Perhatian kepada semuanya! Tidak ada tsunami~ Saya ulangi lagi, tidak ada tsunami”. Aku hanya bisa bernafas lega bersama teman-teman. Warga pun bisa melepas ketegangan dengan duduk disembarang tempat karena lelah berlari kesana-kemari dengan perasaan takut.
Akhirnya aku kembali lagi menuju asrama bersama yang lain. Aku bergegas menuju kamar, naik ke ranjang dan mengambil ransel. Memasukkan ijazah SD, kotak pensil, binder, mukena, qur’an dan dompet. By the way, ketika itu uag di dompetku sisa Rp. 5000. Kupikir kami akan menjadi pengungsi di tenda-tenda seperti yang ada di Aceh. Maka aku bawa hal yang paling penting itu. Ijazah, karena aku akan tetap melanjutkan pendidikanku walau bagaimanapun keadaannya. Kotak pensil dan binder, agar aku bisa tetap menggambar di pengungsian nanti. Mukena, qur’an dan dompet tentu saja penting.
Hal yang paling menyedihkan adalah 90% teman-teman di asrama akan pulang kampung. Mereka akan meninggalkan Jogja untuk 1 minggu dan kembali minggu depan. Ada yang di jemput keluarga, ada juga yang langsung memesan tiket travel. Bagi anak luar pulau Jawa, mereka akan dijemput saudara, kerabat jauh atau bahkan teman bapak ibunya. Wartel, tempat kami berkomunikasi dengan keluarga di rumah (karena no mobile phone di pesantren), tidak bisa beroperasi karena jaringan yang buruk hari itu. Kami hanya bisa berdoa, menunggu telepon dari orang tua di asrama. Ketika biasanya TV tidak boleh dinyalakan selain hari Kamis malam- Jum’at siang, kali ini dikhususkan untuk menonton berita perkembangan yang terjadi agar kami siaga. Aula yang biasanya hanya sedikit fans shalat dhuha-nya, menjadi penuh tiba-tiba. Yang biasanya kitab Al-Ma’tsurat tersimpan rapi (sampai berdebu) di rak buku, menjadi berjamuran dibaca oleh pemiliknya di musholla.
Ketika pukul 17.00, asrama sudah sepi sekali. Dan aku belum ditelpon oleh orangtua-ku. Khawatirkah mereka? Aku adalah anak sulung yang sering dilepas oleh ortu-ku. Sejak SD tinggal terpisah dari abah dan mama. Mereka percaya padaku sepenuhnya, jadi ketika aku tidak dirumah, mereka jarang khawatir. Tapi ini kan beda kondisi~ Apakah mereka akan menelepon ya?
Ada kejadian lucu saat itu. Ketika seluruh personel kamar sudah pulang semua, aku main ke kamar sebelah. Aku mengobrol dengan seseorang, aku lupa siapa. Disana juga ada Farikha, sahabatku yang sedang membaca komik dengan serius. Tiba-tiba Pamog Asrama datang dan menghampiri Fhari, dia bilang;
“ Mba Fhari, keadaan sedang seperti ini, masih sempat-sempatnya baca komik. Astaghfirullahaladziiim!”, kata Pamongku gemas melihat Fhary. Fhary hanya cengar-cengir sambil menyembunyikan komiknya. Yah, hiburan sejenak dari ketegangan.
Dan saat itu aku ingin menuju WC, tiba-tiba telepon berdering. Aku pun mengangkatnya, berharap itu untukku. Tapi, bukan. Itu untuk temanku yang lain. Aku hanya bisa menyisakkan harapan supaya ditelpon ibuku.
Dan ketika maghrib, di asrama sisa 6 orang. Kamipun menggelar kasur di musholla yang jaraknya dari pintu keluar dekat. Setelah selesai shalat isya, kamipun duduk melihat berita. Ternyata pusat gempa berada di Bantul. Disana sangat parah kerusakannya. Lebih buruk berkali lipat kehancuran disana daripada di Kampung Suronatan ini. Setelah itu, kami memutuskan untuk menonton Extravaganza. Lumayan untuk meregangkan otot. Rasanya hari ini kami sedikit tertawa.
Setelah itu kamipun tidur seperti ikan pindang di musholla. Ada sekitar gempa susulan lagi sebanyak 5x. Dan setiap gempa susulan itu, kami berlari ke arah luar dan masuk lagi melanjutkan tidur karena kantuk yang teramat sangat. Dan saat gempa susulan ke-6, aku muak. Teman-teman pada lari semuanya, cuman aku yang masih di dalam. Jika memang takdirku mati, ya sudahlah, mati saja. Pikirku seperti itu.
Aku pun tidak terlalu peduli lagi dengan gempa susulan yang lain. Hasilnya akan kita lihat ketika aku besok membuka mata. Masih di Musholla Asraama Ummu Salamah-kah? Atau sudah berada di “dunia lain”?
(bersambung)