Pages

Sore Selepas Hujan

Selasa, 28 Mei 2013
"Yah, kenapa hujan sih?"
"Iya nih gara-gara hujan jadi ga bisa kemana-mana"
"Ah, bete banget kalau pakai hujan segala"

Kalimat-kalimat seperti di atas memang sangat familiar di telinga atau bahkan di mulut. Tanpa sadar kita menyesali turunnya hujan sebagai suatu kesialan dan penggagalan rutinitas harian. 

Kata agama, hujan itu berkah, jadi harus disyukuri. Kata fisikawan, hujan itu adalah sebuah fenomena alam, jadi harus diseksamai. Kata filsuf, hujan adalah lambang kebebasan dari rasa takut akan ketiadaan, jadi harus diresapi.

Bagiku hujan adalah sebuah penantian. Aku sangat menantikan saat-saat hujan, terutama pada bulan Desember. Mungkin karena bulan itu umurku resmi bertambah sehingga aku membutuhkan udara yang dingin untuk menghadapi pertambahan umur itu. Melihat langit mendung, petir yang menggelegar dan udara lembab yang tidak membuat pipi kemerahan seperti musim kemarau.

Selain itu, mungkin mereka yang menggerutu lupa satu hal. Hujan seringkali mendatangkan pelangi. Walaupun sudah berkali-kali melihat pelangi, aku selalu takjub untuk meniti warna-warna yang terlihat dengan mataku saat itu. Aku dengan refleks mengecek apakah pelangi yang sebenarnya sama seperti yang dilagukan ketika kita masih anak-anak.

Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau, di langit yang biru
Pelukismu Agung, siapa gerangan?
Pelangi-pelangi, ciptaan Tuhan




Selepas Hujan, ada pelangi yang muncul

Serpihan pelangi

Ini saya setelah "berjihad" UAS dan presentasi

Polemik FIA: Tantangan atau Ancaman

Rabu, 22 Mei 2013
“To find yourself, think for yourself.” 
 
Socrates

Usaha pendirian Fakultas Ilmu Administrasi atau yang disebut dengan FIA di UI, telah diajukan sejak 1973 dan hingga kini pengajuan tersebut masih dalam proses di pihak rektorat. Usaha ini tentu tak jauh dari alasan kedekatan lmu dministrasi dengan ilmu manajemen khususnya di bidang Manajemen Pembangunan. Kesamaan kurikulum antara jurusan Ilmu Manajemen dan Ilmu Administrasi mencapai 40 persen.

Ditemui SUMA UI (17/4), Pimpinan Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Dr. Roy V. Salomo, M. Soc. Sc menjelaskan mengenai perjalanan pengajuan FIA yang sangat panjang dan sempat terhenti karena penolakan dan keberatan dari beberapa pihak.  Dilatar belakangi permasalahan seperti ijasah untuk melamar kerja.

“Selalu ada masalah dengan penerimaan kerja lulusan Ilmu Administrasi. Baru tahun ini Departemen Perpajakan menerima lulusan kami. Kasihan. Lulusan kami selama ini tidak bisa berkarir di sana. Dalam sejumlah hal kami sudah tidak fit in lagi”, paparnya.

Pakar Reformasi dan Birokrasi ini menyatakan bahwa FISIP sebagai sebuah lembaga terlalu kecil untuk menampung delapan jurusan, terlebih Ilmu Administrasi yang terus bisa berkembang. Harapan pendirian FIA ini juga tak terlepas dari ide pendirian business school, mengingat ITB dan Universitas Trisakti telah terlebih dahulu mendirikan hal serupa.  Hal ini telah dibawa ke rapat SAU terakhir dan hasilnya Wakil Rektor pun mendukung pendirian business school ini.

  “Terlalu crowded di sini. Jika kami lepas, keilmuan pasti dapat berkembang lebih cepat, rekrutmen pegawai juga bisa lebih cepat, pengembangan program dan kurikulum lebih fleksibel. Itu alasan utamanya. Jika kami berdiri sebagai fakultas, kami tentu akan lebih relevan dalam mengembangkan ilm administrasi di UI”, lanjutnya lagi.


Ditemui di ruangannya (27/3), Dekan Fakultas Ekonomi, Jossy P. Moeis, Ph.D mengatakan bahwa sebagai pimpinan Fakultas Ekonomi, ia keberatan dengan pengusulan fakultas baru ini. Ia menjabarkan bahwa ada tiga alasan mengenai ini, yaitu yang pertama adalah norma pembentukan fakultas belum ada di SAU (Senat Akademik Universitas) terkait dengan fakultas itu secara keilmuan dibentuk yang baru. Kedua adalah kurikulumnya, di mana dapat diperiksa, banyak sekali kurikulum yang mirip dengan Administrasi Niaga. Kurikulumnya 75 persen  sama dengan S-1 Ilmu Manajemen . Padahal pada pembentukan kurikulum hanya boleh sama sekitar 40 persen untuk S-1 dan 60 persen untuk S-2. Ketiga, istilah “bisnis” adalah domain dari Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB). Dekan FE UI sendiri mengaku bahwa FE pernah mengajukan sistem FEB untuk UI, hanya saja ditolak oleh SAU. Tahun 2011 proposal kembali diajukan ke SAU dengan hasil pengajuan FIA diteruskan masuk di SAU dan dibahas, tapi FEB tidak diteruskan. “Kita harus kaji apakah administrasi secara keilmuan perlu pada level fakultas atau departemen saja”, ujarnya.


Baginya,  usulan mengenai Ilmu Manajemen bergabung dengan Ilmu Administrasi, khususnya Administrasi Niaga untuk mendirikan business school adalah gambaran idea yang menyesatkan. “Kita terlatih dengan makro perspektif sedangkan manajemen adalah mikronya. Itu yg kita butuhkan. Makro dengan fondasi mikro. Itu yang harus dipahami oleh teman-teman SAU. FE itu memberikan kontribusi yang besar terhadap Indonesia. Silahkan jika mau latah juga mendirikan business school , tapi janganlah diganggu gugat salah satu departemen kami”, tegasnya.

Mengenai kedekatan Ilmu Administrasi dengan Ilmu Manajemen, menurut Harriyadin Mahardika, Ph.d, dosen perwakilan Departemen Manajemen dalam rapat pembahasan kelanjutan FIA di gedung Dekanat FE UI (27/3), Departemen Ilmu Manajemen telah lebih dahulu mengembangkan diri daripada Ilmu Administrasi. Kurikulum Ilmu Manajemen hampir 60 persen sama dengan Ilmu Administrasi, mulai dari buku-buku yang dipakai dan teori-teori keilmuan, bahkan banyak dosen-dosen Ilmu Administrasi yang berkuliah di Ilmu Manajemen. “Jadi intinya ilmu yang didapat pun sama dengan yang mereka peroleh”, ujar dosen muda ini.

Mengenai kesamaan antara Administrasi Niaga dengan Ilmu Manajemen, Pimpinan Departemen Ilmu Administrasi mengatakan itu adalah hal yang wajar, sama seperti di luar negeri. Di indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) sendiri telah mengakui adanya Administrasi Niaga sebagai rumpun ilmu yang berbeda dengan manajemen. Roy berasumsi bahwa pihak FE UI selalu keberatan mengenai kesamaan kurikulum dan pendirian FIA. Sekitar tahun 1999, FIA sempat disetujui , tapi terganjal oleh beberapa pihak di FE UI. Dan saat Gumilar menjabat sebagai rektor, FIA kembali diajukan. “Saat ini kami berharap FE sekarang diisi oleh orang-orang muda sehingga paradigmanya lebih maju, terbuka dari yang sebelumnya dan bisa diajak bicara. Administrasi dan Ilmu Manajemen memang rumpun yang sama sehingga toh jika kita dipaksa bikin kurikulum yang berbeda, apa bukunya bisa beda? Kan subtansinya sama. Kenapa mesti diperdebatkan?”, ujar Roy lagi.

Dekan FE UI pun menegaskan tidak akan melepas Ilmu Manajemen dari FE UI karena telah memiliki sejarah yang panjang. Ia mengingatkan agar jangan coba-coba untuk memecah departemen dalam fakultas karena hanya akan mengganggu stabilitas di tingkat universitas mengingat FE memiliki peminat yang banyak. Sedangkan Harriyadin mengusulkan bahwa ini harus ditarik ke blueprint UI, khususnya untuk keilmuan di bidang bisnis. UI yang harus menjadi regulator dan harus mengkaji, karena selama ini UI belum memiliki blueprint yang jelas untuk seluruh bidang keilmuan.
.
Hal senada pun diungkapkan oleh Dony Abdul Khalid, Ph.d, perwakilan Departemen Ilmu Manajemen (27/3). Tidak ada kesepakatan Ilmu Manajemen untuk pindah atau bergabung dengan FIA di samping masih dalam taraf diskusi mengenai yang terbaik. “ Jika tujuannya untuk mengembangkan keilmuan, saya rasa caranya bukan mengutak-atik organisasi tersebut melainkan bagaimana masingmasing departemen mengembangkan kapasitasnya. Jangan dipaksakan ada”, imbuhnya.

Terkait dengan FIA, ia mempertanyakan kenapa bisa ada kemiripan jurusan yang padahal sudah ada sebelumnya. “Apakah pengawasannya kurang? Itu yang patut dipertanyakan juga. Kami semua (FE) solid untuk saling mempertahankan”.





Ronggeng Dukuh Paruk; Sang Penari

Minggu, 05 Mei 2013
Setelah membaca novelnya dan gencar mencari edisi film, akhirnya saya putar otak dengan memanfaatkan iMac perpusat UI yang adorable~ Akhirnya saya berkesempatan untuk menonton filmnya.




Yah, bisa dibilang telat juga kalau mau membicarakan film ini. Tapi saya punya ritual untuk lebih menghormati karya tertulis terlebih dahulu ketimbang menonton karya visual adaptasi dari karya tulis tersebut.

Srintil yang dibintangi oleh Pia Nasution memang agak kurang 'dapat' feel-nya. Saya akan lebih senang kalau yang memerankan adalah Happy Salma. Hanya saja saya memikirkan kecocokan sosok Rasus yang sudah pas yang dimainkan oleh Oka Antara jika harus disandingkan dengan Happy Salma. Memang Pia Nasution lebih cocok dengan Oka.

Dan ini salah satu film roman sejarah yang berkualitas dari Indonesia. Andai produser dan sutradara dapat lebih menggambarkan kebutuhan warga Dukuh Paruk akan ronggeng dan skill tari yang dibawakan oleh Pia lebih mumpuni pasti film ini akan sempurna. 

*By the way, kalau liat sosok Rasus ingat si Kakak :p