Pages

Menjadi Seorang Kakak Itu...

Sabtu, 07 Juli 2012
(Tahun 1998)
“Umi sudah liat adiknya?”, tanya tetanggaku dalam perhelatan acara syukuran kelahiran adikku yang pertama. Aku mengangguk sambil terus mengayun ayunan di teras rumah.
“Umi senang nggak punya adik bayi? Jadi kakak...”, tanyanya lagi. Sambil terus mengayun ayunan, aku menggeleng. “Biasa aja”, jawabku sekenanya.

Itu adalah ingatan yang masih melekat dimana aku bersikap biasa saja dengan predikat akan menjadi Kakak pada hari itu. Bagiku bukan sebuah kebanggaan yang harus diperlihatkan.
Ada banyak hal yang memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan pada kita. Seperti istilah “tidak bisa tidak”, sebagai janin di dalam perut ibunda segala hal telah diatur-Nya. Normal atau cacatkah? Siapa ibunya, ayahnya? Tampankah ayahnya? Preman pasar, direktur perusahaan atau tukang jagal sapi?  Hidup di lingkungan yang bagaimana? Jadi anak wilayah Menteng, Doli, atau menjadi Suku Anak Dalam? Dan siapa saja anggota keluarganya? Senangkah mereka dengan kelahiran kita? Atau malah tidak diharapkan? Lahir nomor urutan keberapa atau menjadi anak tunggal-kah?  

___

Aku Si Sulung dari keluargaku. Anak pertama yang lahir tahun 1992. Adik-adikku menyusul lahir tahun 1998 dan 2000. Menurut orangtuaku, jarak 6 tahun sangat cukup untuk sebuah masa kecil yang bahagia. Jadi aku sudah paham betul tugas sebagai seorang kakak; membantu mama untuk menjaga adik.

Kata orang, anak Sulung itu adalah “hasil coba-coba” orangtuanya. Hasil “kecelakaan” di luar program Keluarga Berencana, pembuktian kejantanan seorang suami terhadap istrinya, properti pelengkap kesepian ibunya yang cuti kerja atau penutup mulut mertua cerewet yang sudah kebelet ingin cucu.

Kata orang, menjadi Kakak itu tidak enak. Ketika adik masih bayi/balita, seorang kakak dituntut ini-itu oleh ibunya; mengambilkan popok di jemuran, membuatkan susu, membasuh kotoran buang air adik di wc atau ruang tamu, disuruh mengawasi adik tepat ketika teman-teman mengajak main gobak sodor di halaman mesjid, menenangkan tangis adik bayi ketika ibu sedang tidak di rumah atau hal yang paling menjengkelkan adalah disuruh mengalah.

Kata orang, seorang Kakak akhirnya akan terpinggirkan karena adik bayi  membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dari orang-orang sekitar. Akan ada kalimat “Kan kakak sudah besar. Jadi harus ngalah sama adiknya”. Untuk sesaat, seorang Kakak yang baru saja mempunyai adik akan merasa dunia ini tidak adil. Sudden shock.

Kata orang, kelak ketika Sang Adik mengerti segala hal, ia akan merebut apapun benda milik kita; kamar, tas ransel, baju kodok pink, botol minum Hello Kitty, mobil tamiya, pistol air, sepatu berlampu, jam tangan batman dan banyak hal. Ketika kita mencoba untuk melawan, merebut kembali, memarahi atau akhirnya memukul dan mendorong; ia akan menangis lalu lari mengadu ke ibu atau ayah sambil berkata “Kakak nakal! Kakak jahat”.

Kesimpulannya jelas: Ada banyak hal yang dikorbankan untuk menyandang status “kakak”.
Ketika itu, aku sempat berpikir; jika dia memang Maha Mendengar dan Maha Adil, dapatkah kita bernegosiasi pada-Nya untuk kalimat awal yang kutebalkan diatas? Aku benar-benar mengharapkan sosok seorang Kakak, tapi bagaimana caranya?

Bukan aku menyangsikan kelahiran kedua adikku itu. Dibalik kewajaran sikapku menanggapi kelahiran adik, aku menyimpan rasa senang dan merasa akan ada teman untuk berbagi. Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, salah besar. Walaupun kelihatannya acuh, aku selalu memikirkan keperluan kecil, hal-hal detil tentang adik-adikku atau bahkan perasaan mereka, aku paham. Bukan pula karena aku takut akan banyak hal yang kukorbankan sebagai seorang kakak selama ini seperti kata orang-orang.

Tapi kenapa harus aku yang menjadi Kakak? Kenapa bukan aku yang lahir sebagai nomor 2 setelah kelahiran seorang anak dari rahim mama? Kenapa aku tidak memiliki Kakak? Bisakah waktu diulang? Aku dapat memilih dan bukan lahir sebagai anak sulung; menjadi anak tengah atau anak bungsu agar memiliki satu hal yang selama ini tidak mungkin bagiku yaitu punya Kakak.

Tidak banyak yang tau bahwa aku memiliki brother complex syndrome. Bagiku brother complex adalah penyakit perasaan egois. Ia menuntut dunia karena memang ini tidak bisa diubah secara struktur genetis, terkait dengan kelahiran. Dan dia sampai sekarang masih bersemayam dalam angan-angan yang kusimpan rapat.

Sampai sekarang aku kerap iri dengan teman yang memiliki Kakak. Mendengar mereka memanggil Kakaknya; abang, mbak, mas, kakak, mpok, uda, uni, teteh, akang dan banyak lagi sebutan yang bagiku memiliki kesan tersendiri. Bagiku terdapat kesan romantis ketika kita memanggil sebutan “Kakak”.

Aku selalu menaruh perhatian lebih pada cerita teman-temanku yang berhubungan dengan kakaknya, entah itu berantem masalah kamar, berebut barang, bagian uang jajan, kebebasan yang timpang atau fasilitas yang tidak imbang dari orangtua. Semuanya kudengarkan baik-baik dan diakhiri dengan nasehat atau solusi yang dapat kuberikan pada teman-teman yang bercerita.

Mendengarkan cerita teman-temanku, aku seolah memposisikan diri sebagai Kakak mereka. Ketika mereka bercerita, maka aku juga ikut memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada kepada adikku. Bagaimana jika aku juga seperti itu? Apa yang harus aku perbuat jika kasusnya sama?

Dibalik brother complex syndrome dan curhat teman-temanku akan kakaknya, aku seperti bercermin akan sesuatu: Menjadi seorang Kakak itu tidak buruk. Tanpa kusadari, aku belajar banyak hal.
Aku belajar untuk menjadi apapun yang adikku butuhkan. Aku berusaha menggantikan peran orangtua, teman, guru, sahabat, guide wisata, peminjam uang, ojek, perias wajah, stylish, porter, tukang cuci, pelawak, ambulance manusia dan banyak profesi ketika peran tersebut ia butuhkan.

Kakak bukanlah predikat sembarangan. Dibalik tuntutan-tuntutan yang diembannya, terdapat pengendalian diri dalam pribadi seorang Kakak. Bagaimana menahan perasaan ketika keinginan kita ditumpang tindihkan oleh keinginan adik, belajar menerima ketika barang kesayangan rusak dipakai adik, menahan keinginan ketika adik minta macam-macam pada orangtua karena tidak mau menambah beban biaya, dan belajar berbagi dalam keadaan apapun.

Maka tidak salah jika seorang Kakak kadang memarahi adiknya karena kamar yang berantakan, meminta tolong untuk mengambilkan sesuatu, mengomel karena si adik hanya baca komik tanpa belajar dan kegiatan, panik ketika adiknya belum pulang ke rumah menjelang maghrib  dan hal-hal yang kelihatannya remeh tapi sudah alami sifat seorang kakak terhadap adiknya_kekakakan (seperti dalam kata keibuan). Hematku menjadi Kakak adalah belajar proses menerima, menjalani, membiasakan dan menjadikan kehadiran seorang adik menjadi bagian penting dari hidup.

Jadi tunggu apalagi, katakan pada Kakak kalian bahwa kalian menyayanginya!

Salam sibling syndrome ;)
 _________________________________
VK Courtesy, 6/14/2012