Pages

Dialog Batu

Rabu, 26 Maret 2014
Malam ini aku berjongkok di atas tanah, mengambil batu berukuran sedang. Kuusap-usap supaya debu di badannya hilang. Malam ini, dengan ke-egoisanku, ia kupaksa untuk punya telinga dan mata karena aku mau cerita. Kenapa aku cerita pada batu? Karena sudah susah mencari orang yang terpercaya di muka bumi ini. Dan juga, karena ia tidak akan mengejekku, dia kan tidak punya mulut! Haha...

Mata batu berkedip-kedip. Aku dengan muka setanku memulai bicara,
" Kau tahu batu? Negeriku ini sudah tidak jelas lagi akan status sosial-nya. Aku sampai bingung membedakan satu dengan yang lainnya. Yang mana perempuan, mana laki-laki. Yang mana ibu, yang mana ayah. Yang mana preman, yang mana mahasiswa. Yang mana artis, yang mana bupati. Yang mana bandit, yang mana polisi. Yang mana tikus, yang mana cicak dan buaya".

" Dan yang paling membingungkan, jika memang tiba musimnya nanti adalah yang mana calon dewan dan yang mana badut? Sampai sekarang, aku suda sudah hampir kepala dua ini masih bingung membedakan", kataku sambil emosi kepada batu. Batu hanya berkedip-kedip.

" Nampang sana, nampang sini. Senyum sana, senyum sini. Pose dan penampilan pun berbagai macam~ ada yang mengepalkan tangan ke atas, ada yang berpose salaman. Dan penampilannya??! Amboi, seperti mau umroh saja. Padahal kelakuan juga suka ke rumah plesiran di Pembatuan sana".

" Padahal sudah periode lalu dia nampang seperti itu gambarnya di depan pasar Kamaratih. Tidak taunya hanya membuat hancur saja pasar rakyat itu. Dibangunnya hotel mewah supaya bisa nginap gratis. Tambah gendut perutnya, kongkalingkong kekenyangan. Tak malukah dia? Mengaku-ngaku membangun daerah, padahal yang ditumpuk hanyalah sampah. Anaknya yang dungu sekarang hanya duduk sambil bbm-an di Senayan sana. Padahal bikin skripsi saja tidak bisa. Itu yang mau memperjuangkan daerah di Jakarta?".

" Tapi saatnya bencana dan krisis datang, dia hanya berpidato dengan kata "sebaiknya kita", "seharusnya kita". Bla, bla, bla, bla~"


Aku menarik nafas sejenak. " Kau tau seberapa jauh kebusukannya? Sampai aku di Pulau Jawa inipun masih keciuman. Gusti, rasanya ingin membunuh saja mereka yang tambah gendut kesenangan karena joki. Muak!". Kulemparkan batu ke tanah lagi. Pergi, lagi. Meninggalkan realita akan daerahku yang KALah SELalu.

Calm Down