Pages

Aku Benci

Rabu, 20 Februari 2013
Hari ini aku begitu membenci benda itu.

Ketika aku menjejakkan kaki di atas lantai kayu tempatku merebahkan raga, aku berhadapan dengan ia yang duduk di atas kardus besar yang kutaruh di sudut ruangan.

Aku benci kekokohannya yang bersikeras duduk di sudut kamarku.

Tadi kupikir tak ada salahnya mencoba untuk bersua kembali denganmu, menghargaimu sebagai objek yang dibutuhkan subjek. Yang katanya sebagai saranaku untuk mengetahui apa yag tidak dapat kujangkau dari dunia yang mengekangku.

Aku benci akan keangkuhannya yang merasa ia dibutuhkan olehku.

Mulai kulihat isi benakmu. 
Kulit mulus. Paha putih. Rambut panjang. Rambut lurus. Kawat gigi. Langsing. Tinggi. Tampan. Cantik. Lawakan kosong. Perempuan. Manis. Gaya hidup. Miskin. Mewah. Aniaya. Pembunuhan. Keindahan. Kelinci. Pocong. Perek. Selebriti. Penculikan. Umroh. Hitam. Kopi susu. Politik. Perdebatan kosong. Pembodohan. Konspirasi. Nyanyi. Tawa. Kesehatan. Makan enak. Jun food. Wafer coklat. Pemerkosaan. Bayi disemen. Bocah tanpa anus. Waria memperjuangkan hak. Kebakaran. Banjir. Durian. Bunga. Daging. Bali. Chef cantik memasak. Wisata. Obat penahan boker. Sepatu keren. Sandal jepit. Penyedap rasa. Seks terseubung. 

Aku benci karena tidak dapat menyebutkan semua isi benakmu.

Di sini, di lantai kayu yang berderit jika kuinjak ini, aku sebenarnya bukanlah subjek yang menikmatimu sebagai objek. Terkadang aku merasa dikendalikan olehmu, perkataanmu dan ide-idemu tentang segala hal dalam hidup ini. Dan bahkan lebih seringnya akulah objekmu. 

Aku benci bahwa kita tidak dapat saling mengisi dengan hal yang sebenarnya kubutuhkan, bukan yang kuinginkan.
Jadi mulai malam ini kuputuskan untuk merajuk tanpa cepat berdamai dengan ia yang masih duduk di sudut kamarku.

Ia diam.
Diam.
Mendongakan kepalanya.
Merasa tahu bahwa dari lubuk hati yang paling dalam aku sangat membutuhkannya.
Suatu hari.

Kukusan, 20 Februari 2013


Pukul 23.18