Pages

Etnis Cina di Asia

Senin, 02 Juni 2014

Menyeksamai buku Harga Yang Harus Dibayar; Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, kembali membawa saya untuk kembali berpikir bahwa tidak mudah menjadi masyarakat minoritas di negara yang tengah membangun seperti di Indonesia.

Peristiwa Mei 1998 merupakan peristiwa yang sangat mengguncang bagi etnis Cina yang mengingatkan kita pada Peristiwa Nanking. Disebut sebagai sebuah guncangan karena terdapat kasus pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan etnis Cina.

Saya sangat tergugah dg esai yg ditulis.oleh Wang Gungwu, sejarawan yg saya kira hanya berada di diktat Historiografi-nya Pak Adri, ternyata menjadi kontributor dalam buku yg disusun oleh Romo Wibowo ini.

Dalam esainya, Wang Gungwu berpendapat bahwa kasus etnis Cina yg bermigrasi ke Asia Tenggara menceritakan hal yg sama, yaitu suatu upaya kolektif untuk melebur dg kebudayaan lokal.

Di negara Thailand, yg negaranya terbebas dari penjajah asing, etnis Cina tidak mengalami kesulitan dalam mengamini sejarah negara tsb sehingga dg mudah mereka dapat diterima dan ikut berjuang bersama mempertahankan kedaulatan negara.

Di Vietkong, Kamboja, dan Burma pun senada. Etnis Cina dapat diakui sebagai bagian dari negara tersebut dikarenakan latar belakang kepercayaan dan literatur yang mirip dg negara asal mereka.

Malaysia pun sejak zaman pemerintahan kolonial Inggris, etnis Cina terdidik mulai ambil bagian tidak hanya pada bidang ekonomi, melainkan jg hukum dan politik.

Yang berbeda justru di Indonesia. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda,  etnis Cina dipersempit ruang geraknya hanya pada batas ekonomi. Kalaupun ada yg ambil bagian dalam kancah perpolitikan, tidak memiliki dampak yg besar dan heroik seperti para founding fathers. Sejak awal Belanda memang memisahkan etnis Cina dg Pribumi dengan didirikannya sekolah-sekolah berdasarkan kalangan. Maka etnis Cina pun tidak terbiasa melek dg sejarah lokal, melainkan sejarah negara asalnya dan juga sejarah kejayaan kolonial Belanda.

Dan masa awal pendudukan Jepang di Indonesia yg awalnya disambut baik masyarakat pribumi, membuat etnis Cina semakin jauh dari rasa juang bersatu dg pribumi. Memori kolektif mereka menuntut untuk tidak bekerjasama dg "murid durhaka" itu.pasca peristiwa Nanking.

Hal-hal di atas menurut saya, yg menyebabkan etnis Cina terkesan apolitis dan ahistoris akan negara ini. Mereka terkesan hanya ambil untung sebanyak-banyaknya di negeri kita. Menjadi bunglon di mana saja asal untung dan selamat.

Dan terakhir perlu saya katakan bahwa bangsa kita adalah memang bangsa yg pelupa. Lupa akan sejarah. Lupa akan sanak-saudara jauh yg dulu sekali pernah membantu. Padahal tidak perlu diragukan lg bahwa budaya Cina telah berasimilasi dg budaya lokal. Para imigran Cina pun banyak membagi kemajuan teknologi peradaban dari negara mereka. Segala aspek tak ada yg luput bahwa negara ini pernah begitu akrab dengan mereka.  Ya, bangsa ini memang pelupa.

Minggu, 01 Juni 2014
Siapa tahu kita akan tenang dengan ruang yang dihuni waktu: 

pintu kayu besi yang dibalur lumut, engsel yang digerus asin laut, gambar dua mendiang presiden pada dinding….
Mungkin mercu ini akan melindungi kita
dari hal-hal yang berarti,

dengan tamasya yang minimal.


Seorang penjaga pernah menuliskan

satu kalimat di langit-langitnya,

“Cahayaku memberikan segalanya ke samudera.”

-- Goenawan Mohamad dalam  Di Mercu Suar