Pages

Selasa, 30 April 2013
Menyeksamai gerak-gerik pasifmu pada penghujung April lalu

Kutil

Kamis, 25 April 2013
Ini tahun-tahun yang sulit 
Negeri si gemah ripah loh jinawi,
yang sebenarnya sudah kelu aku ucapkan,
tapi dipaksa-paksakan cupaya cinta,
menderita penyakit kutil

Kutil itu menyebar dan sewaktu-waktu dapat meletup
Nyeri dan bau, merata secara keseluruhan
Ada yang kelihatan, ada juga yang malu-malu sembunyi 
Sembunyi di kelamin, di pantat dan ketiak

Kata temanku yang mengaku bijak,
kutil itu tumbuhnya tergantung konteks.
Aku menggarukkan kepala tak mengerti
Pasalnya bukan anak FK atau Biologi,
yang selama ini hanya kukutat kamus dan sejarah pria berkutil di dagu itu

Katanya:
Kutil itu merupakan cerminan kepribadianmu

Jika ia senang tumbuh di tangan, pemiliknya suka sekali "mengutil"
Mulai dari celengan ayam di rumah, uang ribuan di atas meja sampai uang rakyat
Tak ada yang luput
Dan yang luput seolah dibuat tak ada

Jika kutil itu tumbuh di leher, tentulah lemaknya terlalu banyak
Daging berlebih tak bisa menampung sehingga ia "didiskreditkan" membulat menjadi kutil
"Orang yang seperti ini biasanya suka sekali makan", ujarnya.
Mereka suka makan makanan dan yang bukan makanan.
Yang bukan makanan ini bisa jadi seperti sesuatu yang termakan.
Termakan jari sendiri.
Termakan omongan sendiri.
Termakan kekuasaan sendiri.
Parahnya lagi bisa jadi dimakan.

"Kalau kutilnya tumbuh di tempat tertutup?", tanyaku lagi.

Aih, itu pula tergantung konteks.

Kalau tumbuhnya di pantat, mestilah ia orang yang bersabar
Bagaimana tidak jika pantat sebesar itu menduduki kutil yang kecil
Tidakkah kamu ingat suatu rezim yang kuasanya minta ampun
Mereka menekan kutil kecil itu tapi tetap membiarkannya hidup
Kadang malah digoyang-goyangkan karena asyik walaupun sakit
Tidakkah ada ketimpangan di situ?

"Kalau di kelamin?"

Aih, aih, jangan main-main dengan kata kelamin
Kutil yang tumbuh di kelamin itu pusaka
Jarang orang memilikinya,
karena yang tahu hanya istri, selingkuhan dan teman BBS-nya
Mereka inilah yang pintar kali menyembunyikan dosa
Bercelana seolah tidak apa-apa
Senyum-senyum sambil naik lift ke lantai tiga



Jadi kau punya kutil di mana wahai kisanak?

Surat Untuk Minke; Antara Zamanku dan Zamanmu

Jumat, 12 April 2013

Teruntuk 
Minke, yang sedang berada jauh dalam pikiran siapapun yang mengetahuinya, di sebuah tempat bernama Bumi Manusia.


Minke, kumulai surat ini dengan ucapan beribu-ribu terimakasihku pada cerita perjalanan hidupmu yang luar biasa itu. Walaupun aku belum membaca kisah pada dua buku perjalanan terakhirmu, sudah cukuplah engkau membuatku termenung dengan segala yang pernah terjadi antara jamanmu dan jamanku. Minke, aku ini bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang gadis biasa yang sedang menentang juga mereguk manisnya jaman. Betapa naif kan?

Aku seorang pribumi, asli Kalimantan, pulau yang katamu tak terjamah itu. Aku sedang bersekolah di puing-puing STOVIA, tempat yang kau dambakan dulu. Hanya saja, bukan pendidikan dokter tujuanku.

Kita pernah bertemu dalam sebuah dunia jaringan sel membran, bermula dari pertemuanku dengan buku merah jambu menyala itu, Bumi Manusia. Kubaca untuk menghabiskan sisa-sisa umurku yang ke 18 tahun menuju 19 tahun. Dalam keadaan sadar dan bukan sekedar iseng mengetahui kisah perjalanan hidupmu, aku seperti menemukan sebuah evolusi kesadaran nasionalisme. Pada penghujung umurku yang ke 18 itu, muncul berbagai macam perasaan yang tak terungkap. Yang pernah kupikirkan, tapi sambil lalu. Pikiran yang pernah terlintas kala diam, kala memperhatikan sesuatu dan hilang begitu saja. Betapa mubazirnya aku selama ini.

Dan saat itu, aku pun berkenalan dengan banyak sekali pelajar dengan segala argumen-argumennya mengenai bangsa ini. Segala teori disodorkan, segala buku-buku karya Barat maupun non-Barat juga ditumpahruahkan, waktu berjam-jam pun dihabiskan untuk membahasa konsep akan masyarakat madani yang diidam-idamkan. Mereka semua sama-sama bersemangat, Minke. Tapi aku masih sanksi akan segala teori, bacaan dan segala diskusi itu. Tahu kau kenapa? Mereka tidak menulis seperti kau, Minke. Hanya berteori dan bicara. Kupikir masih belum puas aku dengan sikap mereka.

Minke yang budiman, masih ingat kau kalimat ini: "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari apapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudianhari."

Kupikir itu dasar dari segala yang kulakukan selama ini. Aku ingin menulis Minke, seperti kau. Walaupun aku tau aku tidaklah pintar berargumen dan berdiplomasi dalam lisan maupun tulisan, setidaknya aku belajar Minke, agar suaraku takkan padam ditelan angin.

Minke yang jauh disana, maukah kau kuceritakan apa yang sudah terjadi pada Hindia-mu yang kau bela dan junjung tinggi baik luar maupun dalam? Kutemukan banyak kemiripan antara jamanku dan jamanmu. Saat ini, Hindia pada jamanmu, sekarang bernama Indonesia, sangatlah sudah renta kelihatannya. Semakin tua dan kuyu, hilang energinya. Tahukah kau saat ini Indonesia sudah sangat bersolek menjadi sebuah negara demokratis berjubah kapitalis? Seperti dipaksa-paksakan, padahal banyak sekali keriput di wajah.

Rupanya jamanmu tak beda jauh dari jamanku dalam masalah saling merendahkan bangsa sendiri. Rusuh, Minke. Rusuh. Golongan atas menginjak yang bawah dan golongan bawah saling berebut nasi di tong sampah. Rasis golongan dan etnis itu walaupun telah diburamkan sejak tahun 2001, bagiku masih agak ketara sampai saat ini. Perang antar suku juga pernah terjadi di tanahku, Kalimantan. Sangatlah miris, Minke.

Ada lagi sesuatu yang mirip, Minke. Mirip sekali. Hanya mungkin sedikit berbeda saja dari segi kualitas teknologi. Pada jamanmu, kulihat ada fasilitas yang dinamakan klas satu, iya kan? Dan hanya Eropa, Totok, Tionghoa, dan pribumi berduit yang boleh memakai?

Kalau sekarang, ia dinamakan VIP. Kau bisa bahasa Inggris kan? Sudah pernah mendengarnya? Ya, very important person. VIP.

Kalau jamanmu ada kamar hotel, gerbong kereta dan sekolah untuk kaum menengah klas satu, maka pada jamanku VIP merambat pada segala hal; tempat parkir, tempat duduk, meja makan restorant, ruang tunggu pesawat, tiket konser musik, kereta api (kali ini tidak per-gerbong), bus antar kota, kapal laut dan banyak lagi.

Memang sebenarnya bukan hakku mencampuri urusan mereka mau memakai fasilitas apa. Jika sudah berduit, manusia memang tidak kurang sesuatu apa. Iya kan, Minke?

Tapi saat segalanya menjadi tidak logis untuk kaum marginal, mereka yang terpinggirkan, aku lumayan gusar. Saat mobil-mobil (pada jamanmu dinamakan kereta mesin) sekarang mampu melindas pengendara sepeda motor (sepeda yang bermesin), sepeda dan pejalan kaki. Saat dini hari takjub melihat ribuan manusia Jakarta (Batavia) masuk gerbong kereta ekonomi, bahkan menaikinya, Minke. Mereka naik ke atas gerbong. Betapa bahaya!

Terakhir kulihat, ada seorang wanita setengah baya, berdarah dan bengkak terjepit pintu kereta yang otomatis membuka dan menutup (bisa kau bayangkan majunya teknologi jaman sekarang). Ia berusaha masuk ke dalam kereta yang sudah penuh sesak melebihi kapasitas penumpang, memaksakan diri tapi tak ada tempat yang cukup. Dan ketika masih berusaha masuk, tangannya masih berada di arena luar. Pintu otomatis tertutup dan lengan pun terjepit. Sempat kereta berjalan sekitar 5 detik sampai satpam (pada jamanmu sekaut) meniupkan peluitnya untuk menghentikan kereta yang akan jalan. Mungkin meninggalka darah, mungkin saja tidak. Yag jelas meninggalkan trauma ketakutan akan ganasnya transportasi negara ini.

Nah, Minke, walau kita berbeda jaman, inginku bertanya padamu. Kenapa harus ada tingkatan seperti itu? Kenapa tidak disamaratakan menjadi satu. Sama rasa dan sama rata. Kenapa hanya golongan berduit yang dapat merasakan aman dan nyaman? Sejak dulu, sejak jamanmu hingga sekarang, pengelompokkan kelas seperti itu rupanya tak membuat negara ini kapok. Kenapa harus ada uang untuk menciptakan kenyamanan? Ah, pusing juga aku memikirkannya jika tidak dari dasar, dari permasalah pokoknya. Tapi apa?

Bagiku, VIP dalam hal transportasi, merupakan bukti bahwa kita masih senang menjajah dan dijajah. Ada yang dibawah dan ada yang diatas. Aku tidak tega Minke, melihat banyak sekali kaum marginal yang masih menghambakan diri dengan ini semua. Kontras sekali dengan segala kenyamanan dan pelayanan untuk manusia-manusia yang merasa dirinya important itu, Minke.

Ketika kau terkagum-kagum dengan segala karya Eropa, maka kau akan heran karena sekarang yang menguasai teknologi adalah Asia. Mungkin awalnya kau patut juga berbangga karena masih merupakan sesama ras golongan Mongoloid seperti manusia kita ini. Tapi tidakkah kau muak juga pada akhirnya? Kenapa hanya selalu jadi bangsa penikmat? Mengingat nenek moyangku, yang pada jamanmu merupaka bangsa pengolah terbaik dengan upah rendah. Gula, palawija, karet, kopi, nila, tembakau, cengkeh dan juga rempah-rempahan yang mendunia itu, sekarang sudah tandas pamornya entah kemana, Minke. Tak dapat kulukiskan lagi kiasan buruk apa yang dapat menggambarkan keadaan negeri ini sekarang.

Begitu saja Minke yang dapat kuceritakan padamu. Selebihnya biarlah kau tetap bersemayam dalam benak ini. Salamku untuk Mama-mu, Nyai Ontosoroh alias Sanikem. Bilang padanya aku sungguh kagum akan sikapnya itu. Jika beliau hidup sekarang, bisa jadi predikat miss independent jatuh ke tangan Nyai.

Hormat dari yang selalu memikirkanmu,

Ummi

'Menyedang'

Rabu, 10 April 2013
Entah sejak kapan wadah ini menjadi semacam pelepasan emosi. Katarsis?

Tengah 'Menyedang'

Heraklitos mencetuskan filsafat perubahannya yang begitu dalam. Tak tanggung-tanggung; "panta rhei kai uden menei- segala sesuatu berada dalam perubahan". Segala sesuatu tidak ada yang statis, ia akan selalu dinamis. Bergerak dari satu entitas kebenaran (atau pembenaran) dan menghasilkan entitas yang lainnya. Maka tak heran jika manusia dapat meragukan semuanya, tak terkecuali Tuhan. 

Dalam ranah ini aku bukanlah mewujud jadi seorang hakim atau pun dewa yang dapat menantang sekaligus menentang kebenaran dan bukti tentang konsep keber-Tuhanan. Melainkan jiwa raga sedang kupusatkan dalam proses menuju puncak ketenangan yang sudah termaktub dalam diri setiap manusia. Spiritualisasi seseorang tentu berbeda satu sama lain.

Ini bukan masalah sok-sokan supaya terlihat keren karena bersikap seolah atheis. Bukan, Kawan. Aku tengah menyedang. Aku sedang berusaha untuk menolak terjebak dalam ekstremitas-ekstremitas yang ada. Kadang usahaku ini, walaupun abstrak, membuahkan suatu kelelahan yang tak terungkap. Aku ngotot untuk tidak menjadi makhluk siap saji -- begitulah aku menamakan manusia yang tidak otonom secara subjek. Maaf, aku merasa 'berbeda' saat ini bukan karena dibuat-buat. Ada begitu banyak hal yang terjadi, yang tidak ada seorang pun yang tahu saat ini sehingga rasanya hal yang paling tepat adalah menarik diri.


Menyeksamai Nietzsche secara sekilas, di mana ia melakukan revolusi pemikiran dengan cara membunuh konsep Tuhan pada masa itu; "God is dead". Ia memandang bahwa manusia hendaknya berkuasa secara otonom atas dirinya tanpa harus berpaling pada sistem-sistem yang ada. Mungkin ia begitu kecewanya dengan sistem sosial dan realitas pada masanya sehingga keinginan membunuh Tuhan tercetus dalam pikiran.  

Aku yakin bahwa ia, Nietzsche, pun saat itu tengah menyedang dalam spiritualisasinya hingga ajalnya dijemput oleh Tuhan, yang dikatakannya telah mati. Ia gagal 'membunuh Tuhan'.

Perubahan-perubahan yang terdapat pada diri Nietzsche merupakan suatu proses spiritual yang tidak dapat kita abaikan begitu saja. Ia bergerak dari keyakinan umum menuju kepada konsep yang ia buat secara otonom. Eksistensialis.
_________________________________________________________________


Kau mungkin kemarin mengelak tak ada perubahan yang berarti ketika umurmu itu bertambah. Tapi cobalah kau rasakan sejenak, Kawan. Dunia ini pun tak dapat mengabadikan zona nyaman selamanya untuk kaum manusia. Hidupmu adalah apa yang kamu pikirkan. Duniamu adalah apa yang kamu pikirkan. Tua itu tentulah pasti, tapi dewasa adalah kamu yang memilih.
Semoga duniamu tetap berwarna-warni di tengah proses 'menyedang' ini. Selamat hari lahir, Kawan :*