Pages

Gempa Yogyakarta

Jumat, 20 Januari 2012
Ini kisah nyata. Kejadian ini aku alami ketika tahun 2006, 27 Mei.
Pagi itu seperti biasa, setelah shalat shubuh berjamaah di aula asrama Ummu Salamah di pesantren, aku membuka buku sembari menunggu antrian mandi. Berhubung urutannya masih lama, aku kembali menekuni catatan Bahasa Inggris karena bakal ada ulangan sama Ustadz Arief.

Saat itu aku masih kelas 2 SMP. Tahun kedua di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu, persis seperti yang kuingat, waktu menunjukkan pukul 05.45. Dikamar masih ada 4 orang dari 6 personel kamar. Ada Kiki yang sedang tidur di ranjang atas, Vetty yang sedang menyetrika, Linggar yang baru masuk kamar untuk sarapan, dan aku yang sedang duduk dikasur sambil belajar.
Dengan sangat fokus, aku menghapal pelajaran. Kalimat demi kalimat, tanpa mearasa ada yang berderak sedikitpun. Tapi ketika itu aku seperti mendengar gemuruh api yang mendidih.
Getaran yang awalnya pelan, tiba-tiba saja menyalur melalui kulit dan syaraf indraku, lalu ke otak, mengisyaratkan bahaya. GEMPA! SIAL!

Kami yang sedang dikamar langsung panik keluar, bingung juga mau kemana. Linggar yang sedang asyik menyantap makanan langsung melempar piring dan berlari ke luar kamar. Vetty juga membiarka setrika begitu saja dan kabur. Kiki yang ajaib; lompat dari ranjang atas ke bawah. Perlu diketahui, kasus ini bisa menyebabkan encok, retak tulang dan gatal-gatal (kalau yang terakhir bohong :p). Aku entah kenapa, keluar paling akhir dari kamar. Entah karena tidak sayang nyawa atau memang belum 100% nyawanya.
Kebanyakan anak asrama; yang berjumlah 49 orang itu menuju ke lapangan jemuran. Ya, itu satu-satunya tempat yang tidak beratap dan menghadap langit. Gempa itu semakin mengguncang. Kami semua berteriak panik. Semuanya berpelukan, takut. Ibu dapur pun juga tak kalah panik sambil beristighfar. Ya Allah, akhir hidupkah ini?

Teman-teman yang dikamar mandi pun panik dan hanya memakai penutup seadanya saat keluar. Berhubung kemarin malam hujan, koridor menuju lapangan jemuran juga menjadi licin. Ada yang berlari dan terpeleset jatuh dengan keras. Aku yakin itu sangat sakit. Biasanya kami menertawakan hal-hal yang lucu seperti itu. Tapi entah kenapa semua kelucuan jika dicampur dengan getaran 5,9 skala ritcher akan menjadi suram.
Setelah gempa perdana (kayak album aje :p) selesai dan memastikan bahwa tidak akan ada gempa dahsyat lagi, kami menekuni aktifitas masing-masing. Tapi aku tidak berniat ke kamar melainkan menuju ke Aula, tempat piala dipajang.

SH*T! Semua piala itu pecah! Hancur berantakan. Padahal baru minggu lalu kami menjuarai lomba antar asrama SPEN-C. Yah, sayang sekali!
Teman-teman yang berada di asrama beragam ungkapannya. Ada yang asih ketakutan, menangis, heboh, panik, syok, trauma. Keputusan yang dibuat pun berbeda-beda. Ada yang mau pulang ke rumah, ada yang mau bolos sekolah, ada yang jadi takut mandi (alasan cuy :p haha). Akhirnya aku nekat menuju kamar mandi dan mandi secepat kilat. Sudah pukul 06.30, aku berangkat ke sekolah sendirian. Pikirku keadaan akan tetap sama seperti kemarin-kemarin. Maka akulah yang perdana paling rajin berangkat ke sekolah sendirin. Saat dalam perjalanan menuju sekolah, aku dikatai sama dua orang mas-mas,

“ Ora usah sekolah mba! Sekolahe ancur~”, katanya sambil tertawa dengan temannya. Entah kenapa aku kesal. Kalau bukan karena jilbab dan almamater pesantren, mungkin orang itu sudah kugampar karena kesal. Aku paling benci dengan orang meremehkan pendidikan.
Aku tetap berjalan dengan cepat tanpa ragu. Hancurkah sekolahku?

Saat itu Jalan Suronatan sepi sekali. Biasanya jika shubuh begini sudah banyak orang berlalu lalang. Mbah yang biasa berjualan gudeg juga tidak dagang hari itu. Tidak ada anak sekolah yang berpapasan denganku seperti biasa. Para mbok-mbok yang membawa anak balitanya jalan pagi juga nihil. Semua toko tutup. Hanya ada sedikit saja yang lewat atau keluar rumah. Mendadak Jalan Suronatan seperti di film I am The Legend.

Ketika memasuki gerbang, aku sudah ga keruan rasa. Dan saat memasuki areal sekolah! Jreng, jreeeng! SEKOLAHKU RETAK! TIDAKK!
Ada kaca jendela yang pecah. Atap-atap hancur. Ada koridor yang retak. Ampun! Aku mau sekolah~
Aku hanya pasrah dan berusaha bersikap tenang dengan duduk di teras lantai bawah. Berhubung terlalu bahaya untuk ke kelasku di lantai 2. Jadi aku kembali menekuni buku catatan bahasa inggris-ku. Aku kembali menghapalkan lagi.

Dan saat itu ada Bapak penjaga sekolah datang sambil bawa gerobak. Dia memunguti atap yang berjatuhan dengan sabar. Dan saat posisi-nya berada di dekatku, dia berkata,
“ Mungkin hari ini ga ada kegiatan belajar mbak”, katanya ramah sambil memunguti atap yang lain. Aku hanya menganggukan kepala.
Dan beberapa jam kemudian, para siswi datang berangsur-angsur memenuhi lapangan. Hanya saja, tidak semua berpakaian lengkap. Ada yang hanya memakai sandal jepit, kerudung bergo, bahkan masih memakai celana tidur. Semuanya tampak paik dan takut. Mungkin kejadian seperti di asramaku juga mereka dialami di asrama masing-masing. Teman-teman sekelasku juga ada yang datang. Aku menanyakan bagaimana kedaan mereka. Bahkan lebih parah. Katanya ada senior yang kejatuhan genteng di kepalanya sampai berdarah. Kasihan.

Akhirnya kami semua diarahkan untuk lesehan di lapangan, mendengarkan pengumuman dari Direktur sekolah, ibu Dra. Fauziah Tri Astuti. Dia membesarkan dan menenangkan hati kami dengan bilang, “ Berserah dirilah hanya kepada Allah. Jangan panik~ Kita harus tetap tenang”, ujar salah satu kutipan dari kata-katanya yang kuingat.
Akhirnya kami pun bubar dengan diliburkan seminggu. 1 minggu pemirsa! Lumayan lama untuk ukuran libur unpredicted di Madrasah kami. Ketika aku pulang, suasana kampung sekitar juga tak kalah panik. Ada yang sudah mengeluarkan barang-barang keluar rumah. Rata-rata dari mereka memutuskan untuk berada di luar rumah, karena jika terjadi sesuatu mereka bisa sesegera mungkin lari.

Ketika berada dijalan, kamisemua berombongan menuju asrama, tiba-tiba dari arah utara ada yang berteriak, “ Tsunami! Tsunami!”. Sontak kami semua berlari menuju arah barat. Bahkan warga kampung juga ikut berlari mencari keselamatan. Aku bersama teman-teman lari ketakutan. Bayangan tsunami Aceh yang kami saksikan di TV juga terngiang. Ketika aku berlari ke arah Barat, ada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa yang punya Gerai Motor yang biasa kulihat sedang menggendong dua bayi kembarnya. Dia juga tak kalah panik. Tapi larinya tidak secepat kami karena menggendong 2 bayi. Aku mau menolong, tapi sudah keburu memikirkan diri sendir sehingga tidak mengindahkan itu. Ya Allah, ketika sedang kesulitan manusia itu memang jarang sekali masih memperhatikan sesama. Kalau ingat ini, aku ngerasa bersalah banget ga bisa nolong.

Dan ketika masih berlari ke arah barat, ada orang yang berteriak lagi, “ Tsunami!”. Aku sontak panik bersama teman-temanku. Membayangkan banjir dahsyat yang menyerang dari dua arah. Kiamat kah ini?

(bersambung)

Dahului Takdirmu, Diq!

Selasa, 17 Januari 2012
“ Dra, Rendra!”, panggil seorang lelaki tua sambil meraba-raba dinding rumah kayu yang sudah reot itu. Saat itu adzan shubuh menyahut-nyahut di luar. Dengan penglihatan yang terbatas, lelaki tua itu berhasil meraba-raba sebuah pintu kayu yang juga tak kalah lapuk di makan usia. Di pegangnya gagang pintu yang sudah rusak itu dan dibukanya. Seorang anak laki-laki kecil sedang tidur tertelungkup di dipan kayu tanpa beralaskan kasur. Dengan pelan lelaki tua itu menghampiri dipan yang ada di pojok kamar, lalu membangunkan anak laki-laki itu,
“ Dra, bangun Dra! Sholat shubuh, nak!”, ujar lelaki tua itu sambil menepuk pelan Rendra. Rendra hanya menggeliat dan membuka matanya dengan berat.
“ Iya, wa’!”, kata Rendra menurut. Ia bangkit dan menuju sumur di belakang rumah untuk berwudhu. Lalu di lanjutkan dengan sholat berjamaah bersama Uwa Qosim. Rendra larut dalam sholatnya bersama Uwa diiringi dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di bacakan Uwa dengan fasih. Setelah sholat Rendra dan Uwa tadarus bersama sampai matahari tenggelam. Beberapa kali Uwa membenarkan bacaan Rendra yang salah. Rendra hanya mengikuti apa yang di ucapkan Uwa’ ketika bacaannya di benarkan.
--------------
Rendra, Kampung Dukuh, Garut, 1991
“ Nak, kamu itu sudah mau tamat SD!”, ujar Uwa’ ketika aku sedang melipat sajadah setelah selesai mengaji.
“ Iya, wa”, kataku membenarkan ucapan Uwa. Dia menarik nafasnya pelan lalu melanjutkan kata-katanya,
“ Sudah 6 tahun kamu tinggal sama Uwa dan sekolah di SD kampung sini”.
“ Iya, ya, Wa~ sudah 6 tahun Rendra tinggal sama Uwa semenjak Umi sama Abah meninggal dunia, trus sekolah di SD kampung dan sebentar lagi Rendra nunggu pengumuman kelulusan. Semoga aja Rendra bisa lulus dan dapat ijazah!”, ceritaku dengan ceria, seperti biasa.
“ Uwa yakin kamu lulus”. Aku hanya mengamini perkataan orang yang paling kusayang ini. “ Tapi, apa kamu ada rencana buat melanjutkan sekolah lagi?”, tanyanya sambil mengelus jenggot.
Aku hanya tersenyum pahit dan menjawab, “ Sebisa mungkin Rendra mengusahakan untuk dapat kerja dulu Wa! Mungkin Rendra bakal mulung aja di Ganter buat biaya sekolah sendiri. Dan Mang Olik bakalan ngasih Rendra pekerjaan jadi loper koran. Rendra rasa sudah saatnya ngebantu Uwa buat nyari duit! Rendra kan sudah besar Wa”. Uwa hanya mengangguk-angguk tenang ketika mendengarkan jawabanku tadi atas pertanyaannya.
Aku tahu ini akan sangat sulit. Aku cukup tahu diri untuk tidak minta uang sekolah pada Uwa yang sudah tua. Uwa hanyalah kuli angkat karung beras yang di bayar Rp. 1000 per-10 karung yang di angkatnya. Uwa’ yang sudah tua ini terus memaksakan tenaga agar mengangkat karung beras lebih dan lebih lagi hanya untuk membayar uang sekolahku di SD. Tidak sampai hati aku membayangkan berapa banyak karung beras lagi yang harus di angkat Uwa’ untuk membiayai hidup dan sekolah lanjutanku. Uwa’ adalah pekerja keras yang tidak sudi meminta-minta pada orang lain untuk mengasihani hidupnya. Baginya, jika lebih banyak usaha yang di lakukan, maka akan banyak pula hasil yang di dapat. Itu selalu di wejangkannya ketika aku memulai puasa Ramadhan pada umur 5 tahun. Sepanjang waktu, hari, minggu,  bulan dan tahun, Uwa’ sedikit demi sedikit mengajarkanku untuk bertahan hidup tanpa meminta-minta pada seorang pun. Ajarannya untuk selalu memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebnyak-banyaknya juga akan selalu terpatri dalam hatiku.
-----------------------
              Hari ini pengumuman kelulusan sudah di umumkan di kelas. Alhamdulillah aku lulus dengan nilai yang baik. Beberapa dari temanku, ada yang tidak lulus dan terpaksa ikut ujian paket C. Mereka hanya menunduk ketiak dimarahi ibunya habis-habisan atau hanya tertawa dan memaklumi karena usaha mereka yang minim memang sepadan dengan ketidak lulusannya. Kami semua bersuka cita menyambut kelulusan dengan berjalan ke arah ibu guru dan menyalami beliau. Ketika giliranku, aku mengucapkan terima kasih dan beliau tak henti-hentinya menciumi pipiku senang karena aku Juara Umum.
“ Subhanallah! Kamu kok pinter buanget toh le!”, seru seorang ibu di samping anaknya yang memandangku sinis sambil memegang amplop kelulusannya.
“ Makanya, kamu itu harus belajar kayak Rendra biar bisa Juara I Se-Kabupaten. Juara kelas aja ndak, apalagi mau juara se-Kabupaten kamu!”, keluh ibu itu kepada anaknya. Anaknya adalah temanku. Namanya Anang.
“ Saya pulang duluan ya, bu!”, izinku pada Ibu Anang. Anang adalah salah satu temanku yang lulus juga, hanya saja sikap ibunya yang tidak puas dengan nilai anaknya, membuat Ibunya membandinng-bandingkannya dengan teman-teman yang lain. Aku hanya tersenyum dan pamit ingin pulang pada Ibu Anang yang ramah itu. Hari ini aku akan membantu Pak Nurdin membuat batu batako di rumahnya. Jika berhasil mencetak batu batako sebanyak 35 buah, sebagai upahku, Pak Nurdin membelikanku martabak telor di pasar. Rencananya martabak telor itu akan kumakan bersama Uwa’ sebgai ucapan syukur atas kelulusanku hari ini. Untuk selanjutnya, aku masih bingung. Mungkin aku akan sholat istikharah untuk memikirkan kehidupanku untuk jangka panjang nanti seperti apa.
------------------
Di rumah Uwa’…
“ Assalamu’alaikum!”, seruku senang sambil memegang kantung kresek berisi martabak telor hasil dari keringatku. Aku membuka pintu dan menghampiri Uwa’ yang sedang shalat sunnah. Ku tunggu Uwa’ menyelesaikan sholatnya. Setelah Uwa’ selesai, ku salami Uwa’ dan ku sajikan martabak telor di piring untuk di makan bersama.
“ Nak”, ujarnya lembut sambil memperhatikanku memakan martabak dengan lahap. Cepat-cepat aku menghentikan kunyahanku. Aku tahu, Uwa’ akan menyampaikan sesuatu yang penting saat ini.
“ Tadi Uwa’ membersihkan kebun di rumah Pak Guntur”, ujar Uwa’ tenang. Aku hanya mendengarkannya. Pak Guntur adalah juragan dodol di kampung kami. Ia sangat baik hati dan dermawan. Uwa sudah bertahun-tahun menjadi tukang kebun Pak Guntur.
“ Pak Guntur  juga punya anak kelas 6 SD dan sudah lulus juga hari ini, sama seperti kamu”.
“ Wah, allhamdulillah. Berarti Shiddiq juga lulus ya Wa!”, kataku menimpali. “ Trus ada apa Wa’?”.
“ Nak. Uwa’  sudah tua. Sudah renta dan tidak kuat lagi. Kamu juga sudah lulus SD dan Juara kelas. Tapi Uwa’ tidak punya biaya untuk menyekolahkanmu ke SLTP”. Akhirnya kalimat itu di ucapkan juga oleh Uwa’. Aku sudah siap mendengarnya walaupun sakit. Aku hanya menunduk, menyembunyikan sedih.
“ Uwa’ juga hanya kuli angkut yang di upah Rp 1000”. Air mataku hampir keluar mendengar ini. Tapi tetap ku tahan.
“ Rendra….angkat wajahmu, nak!”, serunya lembut padaku. Aku benar-benar malu menunjukan wajah sedih karena tidak bias melanjutkan sekolah. Aku tidak ingin terlihat cengeng olehnya. Kuangkat wajahku walaupun malu.
“ Kau itu cucu tunggal Uwa’ yang paling di sayang. Walaupun Uwa’ miskin, bukan berarti Uwa’ tidak peduli dengan pendidikanmu, nak”.
“ Wa’”, sahutku tiba-tiba.
“ Rendra nggak memaksakan Uwa’ untuk nyari uang buat sekolahnya Rendra. Kan Uwa’ juga sudah membesarkan dan menyekolahkan Rendra sampai lulus SD. Rendra sudah berterima kasih, Wa’!”, kataku pada Uwa’. Uwa’ yang mendengar itu hanya tersenyum tenang, lagi.
“ Iya, Uwa’ tau. Kamu itu anak yang perhatian sekali. Uwa’ mengerti itu. Hari ini, Allah memberi rezeki sama kamu, Ndra! Alhamdulillah…”. Saat Uwa’ mengatakan hamdalah itu, entah kenapa segelas air dingin menyelimuti hatiku. Aku tiba-tiba merasa lega walaupun belum tahu apa yang akan di katakana Uwa’ selanjutnya. Dan itu peristiwa yang akan ku ingat sampai aku tua nanti.
-----------------------
Hari itu, aku berpamitan dengan Uwa’ sambil menjinjing tas kecil berisi baju dan perlengkapan lain seadanya. Pak Guntur juga menyalami Uwa’ yang tak henti-hentinya berterima kasih padanya. Uwa’ sangat senang sekali atas permintaan Pak Guntur untuk menyekolahkanku di Pesantren sampai aku lulus nanti. Bersama Shiddiq, putranya, aku akan di sekolahkan ke Pesantren. Pak Guntur menjemputku di rumah Uwa.
Berat rasanya berpisah dengan Uwa’ yang telah membesarkanku dengan kesabarannya dan kekuatannya selama 6 tahun. Jika bukan karena Uwa’ yang mengajarkan keteguhan hati, mungkin aku juga akan menagis meraung-raung dan meminta Pak Guntur untuk membatalkan aku sekolah di Pesantren karena tidak mau berpisah dengan Uwa’. Tak tega aku melihat Uwa yang sudah tua itu hidup dan bekerja sendirian.
“ Jangan mau kalah dengan orang lain yang berada walaupun kita miskin. Dan jangan lupa shalat 5 waktu”, bisik Uwa’ ketika aku memeluknya. Setelah pamit, aku melambaikan tangan pada Uwa’ dengan berat hati dan perasaan yang luar biasa kacau.
-------------------------
Di Pesantren…
Sudah 9 bulan aku di Pesantren Putra Dirojo Mangunkusumo ini. Dan sudah 2 bulan aku berpisah dengan kakek juga. Shiddiq, anak pak Guntur, berkali-kali menelepon ayahnya minta di jemput karena tidak betah di pesantren. Mungkin gara-gara kakinya di pecut dengan lidi oleh ustadz karena terlambat sholat Dzuhur. Shiddiq sebenarnya anak yang baik. Hanya saja dia sering menangis dan merasa tidak betah terus di pesantren. Berkali-kali aku menguatkannya untuk bertahan. 
" Diq, dalam mencapai sesuatu, kita harus meneguhkan hati dan niat dulu. Aku yakin kamu mampu bertahan disini. Aku akan selalu membantumu Diq~ Kamu nggak sendiri",ujarku pada Shiddiq yang suatu hari berniat kabur.
Peraturan di pesantren sangatlah disiplin. Jam 4 shubuh, siswa di wajibkan bangun untuk sholat Tahajjud, di lanjutkan dengan shalat Shubuh. Lalu tadarus bersama, dilanjutkan dengan senam pagi atau naik ke gunung. Lalu membersihkan diri dan sarapan. Sekolah sangat dekat jaraknya dengan asrama, hanya 2 menit. Sekolah sampai jam 1 dan di lanjutkan dengan shalat Dzuhur dan makan siang. Lalu kembali ke sekolah mengikuti pelajaran selanjutnya sampai jam 3 sore. Setelah itu pulang ke asrama, shalat Ashar dilanjutkan dengan kegiatan ekstra masin-masing. Malamnya shalat Maghrib, makan malam, acara asrama, shalat Isya dan belajar. Yang paling kusukai, di pesantren ini tempat belajarnya sangat luas sekali. Kita bisa belajar di manapun kita mau. Bisa di kamar, taman sekolah, mushola, teras asrama, koridor sekolah atau bahkan sampai dekat pintu gerbang sekolah. Dan hal yang kusukai selain itu, di sini di terapkan berbahasa asing, setiap hari tanpa jeda. Bahasa Inggris dan Arab wajib di pakai jika ingin berkomunikasi. Yang bisa berbicara dengan bahasa lain seperti Jerman, Jepang dan Korea juga ada. Jika tidak mematuhi peraturan bahasa, akan di hukum berdiri 1 kaki selama 1,5 jam di lapangan sambil memakai plat pelanggaran. Aku pernah tidak sengaja melanggar dan dihukum seperti itu. Besoknya kakiku pegal-pegal sekali.
Teman-teman di pesantren berjumlah 3000 orang. Mereka semua dari berbagai suku. Jadi setiap orang memiliki sifat dan karakter masing-masing. Semuanya juga memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda. Dan semuanya juga harus di sesuaikan dengan adaptasi kita dalam pertemanan. Toleransi, solidaritas, sabar dan bertekad baja, itu semua ku pelajari di sini. Sebenarnya beradaptasi agak sulit, tapi jika kita berlaku baik maka kita akan diperlakukan orang sebagaimana mestinya.
--------------------------
Setelah pulang sekolah, aku harus latihan English Debate di sekolah, sebagai ekstrakurikuler pilihanku. Kami di ajari berdebat dengan tema apa saja, asalkan menggunakan bahasa Inggris. Kami juga di ajari cara berbicara yang baik dan meyakinkan pendengar. Itu sebabnya aku bercita-cita sebagai Duta Besar atau Diplomat Asing. Kami semua sangat bersemangat jika mengemukakan pendapat masing-masing. Biasanya jika sedang rame-ramenya, aku agak sedikit sore pulang ke asrama.
Sore itu, aku pulang agak sore. Saat tiba di kamar, Shiddiq yang sebelumnya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, menghampiriku dan berkata , “ Ndra, tadi Tommy di kirimin kue sama orang tuanya. Kamu juga dapat bagian lho, nih!”. Sesuatu yang bulat berwarna putih dan beralaskan buah berwarna ungu kemarahan diberikan Shiddiq secara cuma-cuma. Aku, seorang anak kampung yang bekerja sebagai kuli batako, tidak pernah melihat kue secantik itu, apalagi merasakannya.
Kusambut pemberian Shiddiq itu dengan mata yang masih takjub. “ Beneran buatku ya?”, tanyaku tak percaya. Shiddiq mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda. Aku menuju ranjangku, dan duduk, sambil memperhatikan kue itu.
“ Namanya Raspberry Cake. Enak lho!”, lanjut Shiddiq dari ranjangnya yang tidak jauh dari ranjangku. Setelah percaya dengan kata “ Enak lho!” dari Shiddiq, aku menjilat sesuatu yang lembut tapi manis yang melapisi kue cantik itu. Ia seperti semen putih tapi manis di lidah. Saat itu umurku 11 tahun dan belum terlalu tahu tentang kue se-modern itu. Bagiku, kue cucur adalah yang terenak se-dunia dan aku sudah bersyukur pernah memakannya. Nanti jika aku berumur 17 tahun, aku baru tahu, semen putih manis yang ku jilat itu bernama cream vanilla. Sayangnya aku baru mengetahui istilah cream vanilla itu ketika umur 17 tahun, jadi sebelum 17 tahun, ketika di tanya apa makanan favoritku, ku jawab saja semen putih manis. Jadi selama 6 tahun, aku di anggap menyukai makanan teraneh dan terasing di telinga teman-temanku.
--------------------------


" Bangun, Dra! Ada penggeledahan mendadak!”, ujar Shiddiq sambil menepuk pipiku. Aku kaget.
“ Ha?!”, kataku.
“ Iya, ada penggeledahan. Semua asrama lagi periksa secara serentak karena ada yang kehilangan uang ratusan ribu. Kita semua di suruh berkumpul di Musholla”, jelas Shiddiq padaku sambil menarik tanganku dari tempat tidur.

Di musholla, suasana terlihat ramai. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 2 subuh. Seluruh teman-teman membicarakan uang ratusan ribu yang hilang itu. Setiap santri membentuk kelompok masing-masing dan membicarakan hal tersebut.
“ Ridho, teman kita yang anak DPR itu, dia yang kehilangan uang!”, ujar anak yang berada di sebelah Shiddiq. Aku, Shiddiq dan beberapa teman sekamar lainnya hanya mendengarkan.
“ Emang uangnya hilang berapa?”, Tanya yang lain.
“ 500 ribu!”.
“ Ha!!”. Semua mata menatap ke arah si pembicara itu. Baru ku ingat namanya Huda, anak dari kamar sebelah.
“ Kira-kira pencurinya siapa ya?”
“ Pasti dia lagi butuh uang!”, tebak Huda.
“ Atau dia orang miskin!”.
“ Atau bisa jadi, dia itu kleptomania”, tebaknya lagi. Semuanya hanya terdiam dan bersungut-sungut mendengar celotehan Huda. Pada jam 2 pagi seperti ini, pasti semua merasa kaget di bangunkan mendadak. Aku tidak memikirkan apa yang di katakan Huda tadi pada yang lainnya, tapi aku kepikiran dengan si pengambil uang itu. Apa yang akan di lakukan pihak pimpinan pesantren jika dia ketahuan mencuri uang. Apa akan dihukum berdiri di tengah lapangan sambil mengangkat sebelah kaki? Atau akan di keluarkan dari sekolah?
“ Asal kalian tahu saja, yang namanya Catur dari kamar nomor 5 itu, dia suka ngembat sabun orang”.
“ Apalagi yang namanya Rian, duuuh,,kalian hati-hati saja deh, dia itu rajanya maling di asrama!”.
“ Mungkin salah satu dari mereka itu malingnya!”, ujar Huda dengan penuh keyakinan.

“ Tau dari mana kamu?!”, ujar Shiddiq tiba-tiba memecah keheningan. Semua kepala yang awalnya menatap Huda, semuanya jadi menatap ke arahku dan Shiddiq.
“ Memangnya kamu siapa bisa nuduh-nuduh sembarangan seperti itu? Kalau kamu teruskan lagi, itu akan jadi fitnah tau! Fitnah itu dosa hukumnya”, ujar Shiddiq. Dia memang paling sebal dengan orang yang suka menuduh secara sepihak. Apalagi hubungannya dengan Huda kurang baik semenjak gagalnya Huda mendapat gelar The Best Soccer Player yang diraih oleh Shiddiq.
“ Kamu nggak usah nyolot gitu dong, Diq!” tunjuk Huda pada Shiddiq.
“ Aku nggak nyolot, da! Aku cuman nggak suka kamu seenaknya nuduh teman kita itu salah satu pelakunya.Bisa aja pelakunya salah satu dari kita!”.
“ Memangnya kamu nggak liat tuh, teman kamu, Rendra yang super miskin itu, mungkin dia pelakunya!” sangkal Huda.
“ Heh, kamu jangan sembarangan nuduh Rendra, ya!”, ujar Shiddiq di susul dengan mendorong bahu Huda. Terlambat, Huda yang tak terima di perlakukan seperti itu, langsung menyerang Shiddiq dengan tinjuannya yang keras tepat di bagian pipi. Mereka berdua saling terjang dan pukul. Kami semua kaget dan berusaha memisahkan Huda dan Shiddiq dari perkelahian.
“ Diq, tenang diq! Kamu jangan emosi kayak begitu!”, ingatku padanya saat memegangi Shiddiq. Kepala asrama datang dengan langkah yang tergopoh-gopoh bersama santri yang melaporkan perkelahian Huda dan Shiddiq.
“ ADA APA INI?! ”. Tiba-tiba kepala asrama datang ke arah kami dan melihat pipi Shiddiq yang memar, lalu melihat Huda yang berantakan.
“ Jika kalian mau berkelahi sebaiknya kalian keluar saja dari Islam! Tidak ada sesama muslim berkelahi seperti ini layaknya binatang berebut makanan. Kalian! Ikut saya ke kantor!”.
-----------------------
Pintu kantor telah terbuka dan Shiddiq bersama Huda keluar berjauhan. Huda menatapku dengan senyum yang meremehkan dan pergi ke arah berlawanan dengan Shiddiq. Aku menghampiri Shiddiq dan merangkul bahunya. Shiddiq sangat terlihat lemas.
“ Diq, kamu nggak apa-apa, kan?”, tanyaku. Shiddiq tidak menjawab dan menepis rangkulanku. Dia menatapku dengan nanar dan lari meninggalkanku yang terbingung-bingung dengan sikapnya.
“ Shiddiq, kamu mau kemana?”, teriakku di lorong kantor ketika Shiddiq berlari. Kukejar Shiddiq dengan sekuat tenaga. Shiddiq berlari menuju taman asrama dan berdiri mematung membelakangiku. Napasku dan napasnya masih tersengal-sengal. Shiddiq berbalik ke arahku.
“ Diq, ada apa?”, tanyaku lagi. Shiddiq masih diam dan menatapku dengan pandangannya yang berbeda. Ia menyipitkan matanya dan tangannya terkepal_seperti orang yang geram.
“ Kamu, orang yang paling kupercaya di pesantren, dra!”. Aku masih bingung.
“ Tapi ternyata kamu itu munafik, dra!”.
“ Memangnya apa yang ku perbuat, diq?”, ujarku.
“ Jangan pura-pura nggak tau, dra!”.
“ Diq, maksudmu itu apa?”.
“ Ka..kamu….”, ujar Shiddiq terputus-putus sambil menunjuk ke arahku.
“ Kamu pencurinya, kan?”, tanya Shiddiq kali ini dengan nada yang berat.
“ Hah? Apa maksudmu?”.
“ Jangan pura-pura nggak tau, dra! Yang nyuri 500 ribu itu kamu, kan?”.
“ …………Shiddiq, kamu jangan menuduh aku seperti Huda tadi. Kamu tau sendiri kan, aku”. Omonganku di putus Shiddiq.
“ Barang bukti sudah ada, dra. Kamu jangan bohongin aku lagi. Sudah cukup kamu bohongin aku selama ini. Pimpinan nemuin uang Ridho yang ada tandanya di dalam sarung bantalmu. Kamu nggak bisa bohong lagi, dra!”.
“ Diq, aku…”, Shiddiq sudah lari menjauhiku yang masih terdiam di taman asrama. Ya, Allah. Kenapa jadi seperti ini?
---------------------
 “ RENDRA!”, panggil suara yang ku kenal. Suara Uwa’. Ya, Allah, aku bertemu Uwa’ dalam mimpi. Ku hampiri Uwa’ yang ada di musholla. Beliau seperti berdzikir. Janggutnya bertambah putih dan lebat. Uwa’ semakin tua, matanya pun  mulai memudar warnanya, tapi hawa kasih sayangnya masih terasa hangat, bahkan lebih.
Ku salami tangan Uwa’. “ Uwa’?”, tanyaku heran. Ada apa gerangan sampai aku bermimpi bertemu orang yang paling ku sayangi ini.
“ Dra, manusia memiliki cobaan yang berbeda-beda”, ujar Uwa’ dengan suara paraunya. Ku tatap Uwa’ dengan seksama.
“ Tergantung seberapa kuat imannya kan wa’?”, tanyaku padanya. Uwa’ hanya mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba sesuatu membasahi pipiku. aku menagis di depan Uwa’, dalam mimpi..
“ Rendra bukan pencuri wa’………..”. Lagi-lagi Uwa’ mengangguk. Ku peluk Uwa’ sambil menangis. Aku benar-benar sedih dan sakit hati dengan apa yang terjadi padaku tadi. Aku yang hanya seorang cucu kuli panggul, yang sekolahnya hanya di biayai oleh bapaknya Shiddiq, dan sekarang Shiddiq memusuhiku, memang tidak memiliki banyak uang. Tapi bukan berarti aku akan mencuri uang milik orang lain. Uwa’ mengajarkan banyak tentang pelajaran harga diri. Aku tidak akan pernah merendahkan diri hanya karena aku miskin dan tidak punya uang.
Uwa’ menepuk-nepuk pundakku sambil menenangkanku. Aku melepaskan pelukanku pada Uwa’.
“ Allah nggak akan membuat hambanya susah jika dia tidak sanggup, nak! Uwa’ yakin kamu kuat menghadapi ini. Selesaikan-lah dengan baik dan bertanggung jawab”.
 --------------------
Setelah shalat shubuh, aku di panggil oleh pimpinan pesantren. ketika melewati lorong kantor, aku mendengar suara teman-temanku. Aku berniat untuk mendatanginya, tapi….
“ Nggak nyangka, ya! Si Rendra itu”.
“ Iya, kelihatannya sih, polos”.
“ Aku agak kurang yakin dia yang nyuri uang. Kita tau sendiri kan Rendra itu seperti apa?”.
“ Iya. Bukannya dia yang jadi Bendahara asrama kita selama ini. Kalau dia beneran mencuri, kenapa dari dulu dia nggak ngambil uang asrama aja yang lebih banyak dari pada uang si Ridho itu”.
“ Iya, betul. Rendra anak yang jujur, aku yakin itu. Aku yakin sekali dia di fitnah oleh orang yang nggak mau ditangkap dan dia melempar jejak dan buktinya ke Rendra yang bersih dari alibi”.
“ Betul juga katamu. Tapi ,kita nggak punya bukti untuk ngebela Rendra. Barang bukti udah di temukan sama pimpinan. Sayang, Shiddiq sudah nggak bisa bela Rendra lagi gara-gara dia di permalukan di depan pimpinan pesantren sama barang bukti yang ada. Dia ngerasa malu sekali waktu itu”.
Astagfirullah, jadi seperti itu..
Shiddiq, maafkan aku..
------------------
“ Jadi, kamu tidak mau ngaku walaupun sudah bersumpah pada Allah?”, kata Bang Harun, ketua asrama yang sudah kelas 3. Di dalam ruangan, pimpinan pesantren, kepala asrama, Ridho; yang kehilangan uang dan ustadz lain menunggu jawabanku.
Dengan nada tenang aku menjawab, “ Saya bersumpah kepada Allah, karena saya memang tidak mencuri, ustadz. Saya memang tidak punya bukti yang kuat karena ini memang bukan saya yang mencuri uangnya”.
“ Tapi nak, barang bukti sudah kuat. Uang itu di temukan oleh kami di sarung bantalmu”, ujar kepala asrama dengan suaranya yang parau.
“ Begini, ustadz..”, kata Bang Harun, sambil menghadap pimpinan pesantren.
“ Di dunia ini, mana ada maling yang mau mengaku. Jika dia mengaku, bukan maling namanya”, sindirnya sambil melirikku. Suasana makin menegang. Dalam sekejap hatiku benar-benar perih karena sindiran itu, tapi aku ingat harus tegar, kecuali aku dan Bang Harun, semuanya hanya mengerutkan kening, mungkin memikirkan hukuman apa yang pantas untukku.
Pimpinan pesantren menarik nafasnya dengan berat, lalu berkata dengan wajah enggan, “ Peraturan di pesantren ini tetap harus di tegakkan. Walaupun kamu anak yang baik, bukti bahwa kamu melakukannya benar-benar kuat. Maka saya akan”, kata pimpinan terputus.
…………………………..
-----------------------
Shiddiq, Jakarta, Kertajasa Center, 2017
“ Jadi, anda bisa bekerja di sini mulai besok”, kata laki-laki berusia 40-an itu padaku. Warna hitam melingkar di bawah matanya, sepertinya kurang tidur.
“ Bos kami pasti akan sangat senang dapat orang muda seperti anda di perusahaan ini. Umurnya juga baru sekitar 26 tahun dan sangat cerdas sekali. Tak heran dia dapat beasiswa di London dan lulus dengan cepat dalam usia muda”, ujarnya. Aku hanya senyum mendengarkan.
“ Sudah 2 tahun dia jadi direktur dan memimpin perusahaan ini dengan sangat baik. Semua karyawan sangat menyukainya_kamu juga mau tidak mau akan suka nantinya”, katanya padaku, agak sedikit di paksakan. Aku mengangguk lagi.  Aku bangkit dari tempat duduk dan menyalaminya__untuk formalitas, dan pamit.
“ Eh, Pak__”, panggilnya padaku.
“ Sebaiknya anda menemui Direktur sekarang, mungkin sedang bukan jam sibuknya beliau, jadi segera temui saja di lantai paling atas”. Aku mengangguk dan benar-benar pergi menuju lift untuk menemui Direktur yang di maksud.
Hari ini aku di terima kerja di Kertajasa Center, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi bahan olahan limbah plastik di seluruh Indonesia. Alhamdulillah aku lulus tes dan mulai bekerja besok. Akhirnya aku bisa membiayai bapak yang terus sakit-sakitan sekarang. Ibu sudah lama meninggal, mungkin bapak kesepian. 
Sekarang usia-ku sudah 25 tahun. Setelah nyantri 6 tahun, aku kuliah di ITB dan lulus dengan baik. Bapak cukup puas dengan peningkatan ini. Mungkin jika aku tidak ingat pesan seseorang, pasti aku tidak akan bisa seperti ini. Dimana dia sekarang? Apakah sehat? Bagaimana nasibnya? Aku hanya bisa mendoakan saja agar dia bisa bernasib baik. Amin. 
Rezeki tuhan pasti tidak akan kemana jika hambanya mau berusaha. Tapi ada banyak rasa penyesalan 10 tahun yang lalu. Ketika aku berhasil dalam suatu hal dalam hidupku, aku pasti teringat temanku yang bertubuh kurus dan kecil itu. Aku masih ingat matanya yang sendu dan selalu menyediakan waktunya untukku jika aku tidak paham dengan pelajaran. Rendra aku benar-benar rindu padamu…
Aku baru tersadar aku sudah keluar dari lift dan berada di lantai atas untuk menemui Direktur. Aku berjalan pelan menuju kea rah pintu yang bertuliskan plang direktur. Ketika aku hamper sampai, aku menyadari seorang wanita__mungkin asistennya_sudah tersenyum ke arahku.
“ Maaf cari siapa ya, Pak?”, tanyanya ramah.
“ Bapak Direkturnya ada?”, tanyaku dengan nada sopan.
“ Namanya Bapak siapa?”.
“ Ash-shiddiq Mustafa”.
“ Sebentar ya…”, ujarnya sambil mengangkat gagang telpon dan mulai berbicara.
“ Halo, pak, orangnya sudah datang……Ok…Baik, pak”, ujarnya mengerti.
“ Silakan masuk, Pak. Bapak Muhammad-nya sudah menunggu”. Aku mengangguk dan membuka pintu, lalu mendorongnya. Seorang pria yang muda__mungkin umurnya sama denganku, bahkan lebih muda dariku_bangkit dari kursi besarnya dan menghampiri dan menyalamiku. Wajahnya sangat friendly dan matanya teduh_lebih tepatnya sendu. Dia tersenyum dan menyilahkanku duduk.
“ Jadi, diq, gimana kabarmu?”, tanyanya antusias, masih dengan menyunggingkan senyum selamat datang. Memang kelihatannya direktur ini ramah, supel, jadi seperti teman saja.
“ Baik, pak. Terima kasih sudah menerima saya”, jawabku formal. Dia terkekeh.
“ Shiddiq, Shiddiq_kamu itu dari dulu kaku sekali. Memang ciri khas-mu ya!”, serunya mengomentariku. Tiba-tiba telponnya berbunyi dan dia berbicara mengenai hal-hal yang harus di kerjakannya besok. Sambil menunggunya menelpon, aku menunduk memandangi sepatuku yang mengkilat_kusemir tadi pagi_tampaknya warna hitamnya agak memudar karena debu. Ketika mendongak lagi aku melihat papan nama batu marmer direktur itu. Warnanya mengilap dan hijau tua. Dan di situ tertulis nama direktur. Aku membacanya sekali dan bermaksud untuk memperhatikan yang lain lagi dari ruangan ini. Tapi aku menoleh lagi danmerasakan ada yang janggal dari nama itu, kubaca perlahan lagi_tepatnya sambil mengeja,

MUHAMMAD RENDRA FIRDAUS

“ Jadi, gimana Pakde Guntur, sehat saja?”, ujar suara direktur padaku. Aku masih menunduk dan mengamati wajah direktur.
“ Gimana keadaanmu selama di pesantren?”, tanyanya lagi. Kali ini aku benar-benar yakin.
“ Dra, kamukah itu?”, ujarku tak yakin. Dia mengangguk dan tersenyum lagi.
“ Aku nggak akan membiarkan takdir mendahului-ku, diq. Jangan sampai kau di belakangi oleh takdir. Dahului dia, sebelum kau di dahului olehnya..”, sahutnya.


“ …………………….”