Pages

Bayi

Jumat, 16 Agustus 2013
Suatu hari, sembari mengawasi anak-anak di saung belakang rumahku, aku berpikir mengenai mereka. Kira-kira jika seorang bayi atau balita diberi kesempatan untuk berbicara dan berpikir layaknya orang dewasa, pasti ia akan banyak protes dan menuntut kepada orangtuanya. Layaknya Isa yang diberi mukjizat untuk dapat berbicara sejak bayi dan menyampaikan kebenaran, tentulah luar biasa untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan.

Keluargaku memiliki usaha di bidang pendidikan anak usia dini dan telah dirintis sejak tiga tahun yang lalu yang berlokasi di lingkungan rumah. Setiap hari Senin-Jumat, puluhan anak-anak dari berbagai usia berseliweran di depanku. Setiap harinya suara tangisan bayi merupakan hal yang biasa bahkan seperti alunan selamat pagi buat keluarga kami. Dan aku terbiasa untuk melihat kaki-kaki kecil mereka yang merangkak, berjalan, berlari dan memakai sepatu. Juga tangan-tangan kecil mereka yang meraba, menggenggam, bertepuk, melempar, atau bahkan memukul. Setiap sore secara rutin, aku bermain dengan bayi dan balita yang dititipkan di rumah karena kedua orangtuanya bekerja atau tidak sanggup mengurus anaknya.

Ibuku yang merupakan pendirinya, adalah seorang wanita yang berpengalaman dalam mengasuh anak di samping sedang mendalami ilmu pendidikan anak usia dini di salah satu universitas negeri di Jakarta. Ia pernah bekerja di baby day care ketika kami dulu pernah hidup di Malaysia untuk membantu penghasilan Abah yang menjadi loper koran sambil kuliah. Aku menilai apa yang dia lakukan sekarang adalah gabungan antara pengalaman, teori dan aplikasi terhadap apa yang dia senangi. Ia memiliki dedikasi yang tinggi dan sangat menikmati ilmu yang sedang dipelajarinya.

Ibuku bilang bahwa seorang anak itu sebenarnya berpikir seperti halnya orang dewasa, tapi yang ia pikirkan adalah dunia kecil yang dilihatnya selama ini karena jarak pandang dan citra yang ia dapatkan masih bersifat "mungil" dan sederhana. Maka dari itu bayi atau balita kerap mendatangi benda-benda yang berwarna cerah dan menyala. Usia balita adalah usia di mana seorang anak memaksimalkan kelima indranya. Ia selalu ingin melihat, menggapai, meraba, menyentuh, menggenggam, mengecap, menjilat, menggigit dan segala aktifitas yang mengandalkan indranya.

Beberapa hari ini perhatianku terhadap anak usia dini agak meningkat. Biasanya aku hanya ikut bermain-main sebentar bersama mereka, tapi sekarang aku mulai mencari informasi dan membuka buku mengenai psikologi anak terutama tumbuh kembangnya. Adalah mengenai syaraf peraba bayi yang kubaca, kuteliti dan kubuktikan.

Untuk melatih syaraf peraba bayi, kita harus menyodorkan kedua telunjuk ke tangannya dan voila, ia pasti akan menggenggam jari kita. Genggaman yang erat adalah tanda bahwa bayi belajar untuk menggenggam keras, merasakan apa yang ia genggam hingga akhirnya melatih otot-otot tangannya untuk menggenggam sesuatu. Walaupun ia melihat, pandangannya masih buram dan indra perabalah yang perlu dilatih agar ia dapat merasakan sesuatu melalui tangan.

Selain itu kita juga bisa menempelkan telunjuk tangan ke pipi dekat mulut bayi, lalu arahkan ke bagian kanan pipi lalu berpindah ke kiri pipi bayi. Ia pasti akan mengincar jari kita dengan membuka mulut dan menjulurkan lidah searah dengan arah jari kita. Itu membuktikan bahwa bayi selalu ingin memasukkan apa yang ia lihat dan rasakan ke dalam mulut. Ini juga dapat membantu untuk mengetahui apakah si bayi sedang lapar atau tidak.

Lalu syaraf peraba juga bisa dicek pada telapak kaki bayi. Tekan telapak kakinya secara spontan dan otomatis jari-jarinya langsung melipat. Ini melatih syaraf sensorik pada bayi. Bagaimana tubuhnya bereaksi ketika ada benda tumpul menekan telapak kakinya.

Tapi lambat laun seiring dengan pertambahan usia, reaksi atas syaraf peraba ini lambat laun akan hilang dan bayi akan mengeksplor dan melatih syaraf-syarafnya yang lain. Ia akan mencoba hal-hal yang lebih menantang. Nah, dari sini aku paham bahwasanya sejak bayi manusia merupakan makhluk yang selalu ingin belajar, long life learner. 

Akan sangat disayangkan jika pada usia bayi dan balita, seorang anak terlalu diproteksi dari lingkungan dan alat-alat yang dapat membantunya belajar. Dinding, kursi, meja, lemari, pasir, jaring panjat-panjatan dan medan-medan yang sebenarnya dapat membahayakan anak, sebenarnya merupakan medianya untuk belajar mengenal kemampuan dirinya. Aku agak sanksi dengan anak yang selalu digendong kemana-mana dan tidak dibiasakan berjalan sendiri. Aku juga sanksi jika orangtua terlalu takut anaknya jatuh, tergores atau menangis, lalu melindungi mereka seperti porselen.

Konon Jenghis Khan, manusia legendaris yang memimpin pasukan Mongol yang pernah ditakuti sejagad raya itu, ketika bayi dilepas oleh ayahnya di padang pasir yang panas. Ia dibiasakan untuk tahan menghadapi terik panas matahari sehingga pijakan kakinya menjadi kuat. Suku Eskimo juga dulu memiliki kebiasaan mencelupkan bayinya ke dalam air es agar tubuhnya terlatih menghadapi hawa dingin salju. Dan Kakekku juga melatih anak-anaknya sejak usia dini untuk dapat berenang di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dengan mendorong mereka ke sungai dan membiarkan mereka survive dengan caranya masing-masing sehingga terbiasa dan dapat berenang seperti umumnya masyarakat Muarakaman.

Kupikir bayi-bayi di era kontemporer begitu manja dan rapuh. Mereka terbiasa dengan susu-susu mahal, vaksin, minyak telon, minyak kayu putih, jaket tebal, dibungkus dengan kain rapat-rapat dan lain sebagainya. Aku paham betul fungsi afeksi dan proteksi yang ingin diberikan keluarga inti pada bayi atau balitanya, tapi memberikan perawatan dan perlindungan berlebihan tanpa melatih fisiknya sejak dini merupakan sebuah kekeliruan.

Biarkan anak-anak mengenali sendiri apa yang ingin ia pelajari. Berhenti menggendongnya terus-terusan dan berdirikan balita yang sudah bisa duduk dan merangkak. Latih ia dengan memberikan satu fokus untuk digapainya seperti boneka kesayangan, susu botol atau bahkan ibu atau ayahnya dengan melepaskan pegangan ketika ia sedang berdiri. Tentunya dari sana ia akan belajar mengenai makna dalam menggapai sesuatu diperlukan langkah (usaha). Berikan anak semangat dengan apresiasi seperti bertepuk tangan atau memujinya ketika ia melakukan usaha dalam tumbuh kembangnya sehingga ia tidak malas untuk berlatih jalan.

Oke, sepertinya sekian tulisan malam ini. Mungkin ada yang beranggapan seperti "Diih, sok tau. Kayak udah punya anak aja si Umi". Tapi percaya deh, begitu banyak hal yang bisa dipelajari dengan memperhatikan anak-anak terutama pada usia bayi dan balita. Banyak filosofi mengenai usaha, pembelajaran, semangat, kehadiran, kejujuran dan ribuan hal yang dapat dipelajari hanya dengan mengamati tumbuh kembang mereka.

Biarkan dia menggenggam tangan kita dan bantu dia berdiri. Pastikan kedua tungkainya tegak dan kuda-kudanya pas untuk berdiri.

Berika ia fokus dengan benda-benda yang berwarna cerah seperti bunga yang saya pegang atau boneka kesayangan dia. 

Oke, bonekanya mulai direbut! Perlahan lepaskan tangan kita pada genggamannya. Jangan takut untuk melihat dia jatuh. Biarkan dia merasakan sakitnya jatuh untuk belajar berdiri.

Oke, sudah mau lepas tangannya. 

Voila, dia berdiri dan sempat berjalan lima langkah #sayang ga ada foto karena saking takjubnya

Kenalkan teman-teman, ini Roro (11 bulan) si calon pelari ulung kelak #amin

Permasalahan Seni Teater Tradisi Indonesia

Senin, 05 Agustus 2013
Seni Pertunjukan Teater Tradisi
Istilah teater tradisi adalah bentuk sajian teater yang berakar dari tradisi budaya suatu daerah tertentu. Teater tradisi yang dikatakan sebagai kesenian pinggiran atau kesenian rakyat, merupakan sebuah kepemilikan bersama oleh masyarakat. Setiap daerah dan wilayah memiliki kekhasannya tersendiri dalam menunjukan seni pertunjukannya. Teater tradisi merupakan bagian dari seni pertunjukan di Indonesia.

Seni pertunjukan merupakan sri panggung di antara semua seni di Indonesia. Tidak bisa tidak jika di dalam suatu negara di mana kepandaian membaca dan menulis yang popular dan fungsional, tidak pernah menjadi tradisi hidup dan di mana yang merupakan tradisi adalah masyarakat yang agraris serta komunal dan berorientasi pada raja. Ritual desa di seluruh nusantara pada kenyataannya merupakan seni pertunjukan tradisional yang mengagungkan para dewata atau para leluhur. Wayang Jawa, Sunda dan Bali tidak dapat dipisahkan dari ritual padi yang mengagungkan Dewi Sri dan para leluhur. Begitu pun dengan pertunjukan teater tradisi.

Ketika ibu kota kerajaan beserta tempat raja telah ditaklukan berkembang, seni pertunjukan yang diserap dan disucikan oleh keraton, menjadi bagian ritual fungsional dari istana. Dan ketika kota-kota besar dan kecil bermunculan dan berkembang, seni pertunjukan pun dijadikan seni pertunjukan bagi masyarakat urban. Dalam kasus ini teater tradisi yang pada awalnya merupakan kesenian yang berasal dari daerah atau desa karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis setiap daerah, kini mulai menjamah kota dengan segala inovasinya. 

Sumber: Dokumen Pribadi
Misalnya seperti wayang wong, yaitu sebuah drama tarian berdasarkan cerita Mahabharata dan Ramayana. Pada jaman dahulu, drama tari ini hanya digelar di keraton atau tempat tinggal bangsawan. Dari unsur pemain, waktu pagelaran dan kisah yang dipertontonkan merupakan pilihan khusus. Lambat laun orang-orang biasa yang pada mulanya hanya sebagai penonton, mulai menyusun kelompok pertunjukan mereka sendiri. Mereka mengorganisir kelompok pertunjukan mereka sendiri “keluar” dari tembok keraton. Ketika seni pertunjukan ini memasuki dunia masyarakat biasa, maka wayang won diubah menjadi pertunjukan yang populer. Wayang wong bukan lagi sebuah pertunjukan yang sangat panjang bagi golongan bangsawan yang dengan mudah dapat menemukan dan memikirkan estetika pada setiap pagelaran seni tradisi ini, akan tetapi wayang wong menjadi pertunjukan yang jauh lebih singkat bagi massa urban. Dalam masalah wayang wong komersial ini, dapat dilihat pengubahan pertunjukan yang murni artistik dari dan untuk kaum ningrat yang terbatas, menjadi pertunjukan populer yang juga dapat dinikmati oleh siapa saja di kota. Pengubahan ini dimungkinkan terjadi ketika timbul kebutuhan masyarakat kota akan seni pertunjukan tradisi yang lebih ringan dan bernuansa urban.

Akan tetapi, kemerdekaan dan keputusan Republik yang baru untuk memperluas solidaritas kedaerahan menjadi solidaritas Indonesia yang satu, membawa dampak-dampak yang cukup besar. Generasi Jawa yang baru misalnya, makin lama makin banyak pengguna bahasa Indonesia sebagai media ekspresi mereka ketimbang bahasa ibu mereka sendiri. Ini mengarahkan kepada generasi baru yang semakin termarjinalkan dari bahasa serta sudut pandang pemikiran mereka. Bahasa Indonesia sendiri berhubungan dengan ide-ide modern dan baru yang mengarahkan kepada tertbitan-terbitan kontemporer. Dalam hal seni pertunjukan, mereka akan lebih tertarik pada teater dan film yang modern.

Teater modern sendiri merupakan tradisi baru bagi Negara. Sedangkan seni pertunjukan tradisi sendiri merupakan seni tua. Seni teater tradisi yang dikenal selamanya merupakan teater yang total dan sintesis, di mana teater itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dan alam. Para penonton menyaksikan dan menganalisis pertunjukan tidak secara terpisah, akan tetapi mereka adalah bagian dari pertunjukan tersebut. Walaupun terjadi perkembangan dari seni pertunjukan tradisional populer atau kemersial seperti wayang wong, ketoprak, dan ludruk di kota-kota di Jawa yang menjadi semakin kurang total, akan tetapi setidaknya terdapat unsur “menonton secara sintesis dan mengerti” teater, masih ada.Seni pertunjukan teater tradisi yang sempat menjadi sri panggung seni dikarenakan kedudukan yang sangat terpusat dalam ritual keagamaan dan masyarakat, telah sampai pada kedudukan ganda ketika ia hadir pada masyarakat urban. Pertama adalah sebagai hiburan dan yang kedua adalah sebagai tuntunan. Pengasingan seni pertunjukan dari peran ritual, penyesuaian yang diperlukan bagi tuntutan jaman dan tempat, telah menjadikan seni pertunjukan teater tradisi selaku kebudayaan massa, sebuah fenomena yang tidak lagi padat.

Teater Tradisi Kini
Dewasa ini media massa merupakan tampuk dari segalanya. Dengan media, segalanya dapat menjadi lebih mudah, cepat dan praktis. Sebagai entitas budaya, media semakin melengkapkan diri ketika teknologi komunikasi menjadikan dunia bagaikan dilipat. Dalam hal ini teater tradisi pun tak luput dalam genggaman media. Bukan hanya ketoprak saja yang ditelevisikan, tetapi wayang kulit yang sampai kini belum menjadi wayang pop atau ketoprak massa seperti sandiwara radio atau sandiwara televisi seperti di Amerika Serikat. 

Wayang tetap menjadi wayang, ketoprak tetap menjadi ketoprak, dan sandiwara tetap sandiwara yang berbeda dengan film ataupun video klip. Perkembangan ilmu dan teknlogi komunikasi dunia, dengan cepat merambat ke Indonesia sering tanpa filter yang cukup berarti kecuali barangkali bea masuk atau berbagai peraturan guna menjaga stabilitas kita dalam berbangsa dan bernegara kesatuan. Namun demikian, akulturasi, inkulturasi, dan asimilasi akan tetap berlangsung, karena media juga merupakan agen kebudayaan, agen transformasi budaya bangsa.

Almarhum Djadoeg Djajakusuma, dari IKJ merupakan salah satu tokoh di bidang kesenian pinggiran (tradisi). Tanpa pernah segan ia rajin bergumul dengan para seniman wayang orang, wayang kulit, lenong dan teater rakyat yang lain. Dibawanya kesenian-kesenian tradisional itu ke ranah seni modern di Jakarta. Salah satunya dengan memfasilitasi seni-seni tradisi ini untuk bisa pentas di Taman Ismail Marzuki yang pada masa-masa itu masih didominasi oleh gairah teater modern yang berkiblat ke Barat. Hasilnya cukup dahsyat. Di masanya, seni lenong berhasil direvitalisasi sampai bisa menggaet penggemar dari kalangan muda. Lewat kerja keras dan lobinya ke pemerintah DKI Jakarta, Wayang Orang Bharata seolah menemukan kembali semangat baru hingga mampu menjadi tontonan favorit, terutama di kawasan Senen.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dengan berubah bentuknya suatu seni pertunjukan, maka akan menghilangkan kearifan dan nilai estetis dari pertunjukan. Seni teater tradisi dewasa ini mulai menampakkan wajah barunya melalui berbagai inovasi agar mudah diterima oleh masyarakat kota. Misalnya, dengan membahas sesuatu yang “kekinian” pada saat tokoh Punakawan tampil, padahal setting waktu yang digunakan adalah jaman kerajaan. Atau ada pula istiah “Indonesiasi Wayang”, dimana wayang dimainkan dengan bahasa Indonesia. Ada pihak yang menyayangkan dan ada pula yang tidak. Padahal teater tradisi sendiri telah mengalami perubahan jauh-jauh hari ketika ia mulai keluar dari tembok keraton, lalu dinikmati oleh masyarakat non bangsawan. Karena kesenian merupakan suatu hal yang dinamis, maka ia mau tidak mau mengikuti selera masyarakat urban. Walaupun terkesan mengkapitalisasi seni teater tradisi dengan mengkomersialisasikannya, ini merupakan salah satu upaya agar masyarakat tetap menyadari keeksisan teater tradisi di tengah gempuran budaya asing. 




Daftar Pustaka˗ Kayam, Umar (1997). Jalasutra. Lifestyle Ecstasy; Budaya Massa Indonesia. Jakarta.˗ Jatman, Darmanto (1997). Jalasutra. Lifestyle Ecstasy; Pluralisme Media dalam “Era Imagology”: Sketsa Interaksi Budaya Media dengan Budaya-Budaya Etnik. Jakarta.˗ http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/23/djadoeg-djajakusuma-membangkitkan-seni-peran-tradisional-125237.html.˗ http://harrydfauzi.wordpress.com/tag/teater-rakyat/.