Pages

Afiksasi Me- dan Di-

Jumat, 27 September 2013
Memberi dan menerima
Mencintai dan dicintai
Mengerti dan dimengerti
Mendekati dan didekati
Menyakiti dan disakiti
Melangkah dan dilangkahi
Memulai dan dimulai
Memarahi dan dimarahi
Mencaci dan dicaci
Memukul dan dipukul
Merepotkan dan direpotkan

Semua bentuk afiksasi di atas bukan karena saya sedang belajar merangkai kata aktif menjadi pasif. Itu semua juga bukan mengenai kehidupan saya dalam sehari-hari. Rangkaian kata tersebut saya rangkai untuk menyadari bahwa awalan me- pada dasarnya lebih superior dibandingkan dengan awalan di-. Afiksasi berguna sebagai unsur tambahan yang menegaskan esensi dari sebuah kata menunjukkan siapa melakukan apa dan kadang ada pelengkap hasil yang tertera pada sebuah kata.

Menurut pandangan saya, awalan me- merupakan bentuk di mana subjek menjadi "tokoh utama" dalam kalimat-kalimat aktif. Me- bersifat superior dan berkuasa atas otoritas dari yang menjadi objek. Lihat saja contoh kata menyakiti atau merepotkan. Keduanya memiliki makna yang negatif tapi (setidaknya) lebih berperan dan berada pada tingkat paling atas sebagai subjek.

Sedangkan awalan di- merupakan bentuk di mana objek seolah menjadi subjek dengan dipindahkan ke awal kalimat akan tetapi "dikendalikan" oleh subjek yang seolah menjadi objek. Contohnya dalam kalimat berikut ini:
  • Kalimat aktif: Rani sedang menyiram tanaman.
    • Kalimat pasif: Tanaman sedang disiram Rani.

Dalam hal ini dapat ditelusuri bahwa "tanaman" telah menjadi objek Rani untuk "disiram". Tentunya Rani memiliki otoritas dalam bentuk aktif maupun pasif, bedanya objek (tanaman) dapat dipindahkan ke depan atau ke belakang akan tetapi tetap tidak mengurangi kedudukannya dalam menjadi "korban" perbuatan Rani, yaitu "menyiram".

Hemat saya, awalan me- dan di- menunjukkan sikap manusia dalam bertindak. Apakah selamanya menjadi me- yang memiliki unsur pengorbanan? Atau selalu ingin bertindak sebagai di- yang selalu menerima apa yang dilakukan subjek?





Pelecehan Seksual: Siapa yang Perlu Disalahkan?

Selasa, 03 September 2013
Seindependennya wanita, sebesar apapun, tentu ada hal yang ditakutinya. Malam tadi, aku bermimpi menemui hal yang paling kutakuti seumur hidup. Hal yang kupikir dapat merusak masa  depan seseorang, di mana yang menjadi objek tidak dapat melawan dan berdaya. Di mana si subjek dapat melakukan segalanya tanpa belas kasihan dan merasa 'berhak' menyakiti si objek. Aku kesal dengan istilah perkosa, pemerkosa, dan perkosaan.


Aku bermimpi naik angkutan umum ketika malam. Angkutan umum itu kosong dan tanpa curiga sedikit pun aku menaikinya. Dan tanpa kusadari, ia berjalan melewati hutan-- jalan yang bukan seharusnya. Slide pun berganti dengan aku dikejar oleh supir angkot yang wajahnya aku lupa. Yang kuingat supir itu memakai topi jerami. 
Dan akhirnya berganti pada adegan aku berlari menuju rumah warga sambil berteriak ketakutan. Aku memang tidak ingat betul bagaimana kronologi peristiwa dalam mimpi itu. Tapi yang kuingat, aku menjadi begitu membenci laki-laki. Aku jijik terhadap mereka, siapa pun itu. Di kepalaku mereka semua sama dan binatang.

Ada begitu banyak kasus pemerkosaan. Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat ada peningkatan kekerasan pada perempuan di ranah komunitas atau publik pada 2012, sebesar 4,35 persen atau menjadi 4.293 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan seksual (2.521 kasus), di antaranya pemerkosaan (840 kasus) dan pencabulan (780 kasus).



Pemerkosa, karena dia pelaku (subjek), maka dia akan ditaruh di depan kalimat. Perkosa sebagai verba, akan ditaruh di tengah sebagai perbuatan-nya (kata kerja). Sedangkan perkosaan, ditaruh di akhir, sebagai objek yang lemah dan tidak dapat melawan.



Aku paling benci terhadap hal yang bersifat menganiaya dan semena-mena itu. Begitu banyak masa depan yang lumpuh atau bahkan hancur dikarenakan nafsu birahi laki-laki yang tak tertahankan itu. Aku tahu dan cukup tahu bahwa sebenarnya nafsu birahi juga dimiliki oleh para wanita. Aku juga tahu bahwa kasus pemerkosaan juga bukan hanya pria terhadap wanita, tapi wanita terhadap pria pun ada walaupun jumlahnya sedikit.

Tak jarang korban berakhir dengan menyukai sesama jenis. Menjadi gay atau lesbian. Kadang aku prihatin dengan mereka yang kepercayaan dirinya hilang. Rasanya mungkin seperti tercerabut dari akar kehidupan, di mana hanya ada kelam dan ketakutan. Trauma yang menyisakan pilu dari lubuk hati yang paling dalam.



Aku sangat sangsi dengan mereka yang menyalahkan pakaian sebagai alasan untuk melakukan tindakan pelecehan. Aku yang mengenakan atribut muslimah yang longgar pun pernah mengalami pelecehan di bus umum. Menurutku bukan karena pakaian, tapi karena adanya kesempatan dan wadah pelampiasan.

Salahkah wanita jika lekuk tubuhnya seperti itu? 
Salahkah wanita jika ia menarik birahi para laki-laki walaupun dia tidak melakukan hal yang 'mengundang'? 

Bung, itu semua terbentuk dalam pikiran yang bekerja. Amigdala terlalu garang dalam menangkap pikiran yang kemana-mana sehingga logos frontal mati. Kelogisan berpikir pun lenyap dan insting kebinatangan yang menguasai. 

Masyarakat Dayak Punan Batu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, membuktikan bahwa pakaian bukan alasan. Kaum Dayak Punan, dari seluruh kalangan, baik perempuan dan pria dewasa, remaja dan anak-anak, memiliki kebiasaan mandi di pinggir sungai. Mereka mandi hanya dengan mengenakan kain basahan yang menutupi kemaluan mereka. Tanpa perlu berpikiran malu dan jorok, mereka semua mandi tanpa penutup bagian dada. Masyarakat di sana begitu biasa dengan hal tersebut dan tidak ada kasus pelecehan seksual pada wanita. Kaum pria Punan ketika melihat payudara wanita di sana pun tanpa ekspresi. 



Ini begitu menggelitik kondisi di perkotaan, di mana pakaian yang digunakan kaum wanita dipersalahkan sebagai pembangkit nafsu birahi. Melihat paha mulus sedikit saja langsung kemana-mana pikirannya. Seperti singa ingin memangsa kijang. 

Aku yakin ini karena pola pikir yan dibentuk sejak awal. Kondisi yang membuat kita memiliki pola pikir tertentu. Jika kita berpendapat bahwa apa bedanya payudara dengan organ tubuh yang lain, seperti hidung, mata, pipi dan tangan, maka tidak ada masalah kan?
Karena ada bagian tubuh yang disakralkan, maka hal itu menjadi tabu untuk dilihat. Dan ketika ada kesempatan melihat pun, rasanya seperti ingin menghabisi. 


Jadi, apakah kalian lebih bermoral daripada kaum Punan di pedalaman Kalimantan sana?