Hi, fellas! Sebenarnya ini
late post. Tapi saya ingin kembali menulis di sela kesibukan UAS dan stressnya
wedding preparation :))
________________
Jujur harus saya katakan
bahwa Ayu Utami merupakan penulis favorit saya
sehingga objektivitas terhadap karya-karyanya pun sudah kabur digerus oleh
rasa kagum dengan segala detil tulisan mereka.
Pada tahun 2013, Ayu meluncurkan kembali Seri Bilangan Fu keempat yang berjudul Maya. Sesuai dengan sinopsis Maya
pada sampul belakang, novel ini berlatar peristiwa pra-reformasi. Akan tetapi
pembaca tidak akan menemukan adegan demo dan segala macam orasi oleh para
aktivis, melainkan cerita yang berpusat di wilayah Padepokan Suhubudi. Novel
ini merupakan lanjutan dari kisah Saman dan Larung. Atau lebih tepatnya sebagai bagian perpisahan para pembaca dengan tokoh Saman yang
setelah dua tahun dinyatakan hilang.
Novel Maya terdiri dari
tiga bab; Kini, Dulu, dan Kelak.
Kini dan Kelak
Yasmin yang masih berusaha
mencari jejak Saman setelah dua tahun tidak ada kabar. Dua buah surat yang
dialamatkan kepada Yasmin semakin menguatkan bukti bahwa masih ada harapan bahwa
Saman masih hidup. Maka Yasmin pun berangkat ke Jogja dengan bekal dua buah
surat dan sebuah mustika, mendatangi Padepokan Suhubudi. Saat itu Indonesia
sedang bergejolak karena rezim Soeharto mulai goyah dan reformasi mulai gencar
disuarakan.
Pada bab ini, Ayu
menempatkan sebagian besar alur cerita di Padepokan Suhubudi. Sebuah padepokan
milik seorang guru spiritual yang bernama Suhubudi. Suhubudi adalah manusia
eksentrik yang sangat menjunjung tinggi spritualitas dengan alam dan masa lalu.
Dengan prinsip itu pula, Suhubudi menampung orang-orang (atau para makhluk)
yang dikatakan masyarakat sekarang sebagai orang cacat, imbesil, atau tidak
sempurna.
Ketika saya mulai membaca
novel ini, saya berharap masih bisa bertemu dengan tokoh-tokoh lain seperti Yuda,
Marja, Shakuntala, atau bahkan Lalita. Karena pada dasarnya saya sangat
menyenangi tokoh-tokoh yang diciptakan Ayu dan diceritakan secara
sepotong-sepotong sehingga selalu ada kejutan pada setiap lembar novelnya. Akan
tetapi di novel ini, cerita memang berpusat pada Saman, Yasmin, Parangjati, dan
dengan tambahan Maya sebagai tokoh yang mengajarkan nilai estetika untuk
pembaca. Kekecewaan saya sirna ketika Ayu dengan cerdasnya menggambarkan
bagaimana menjadi makhluk yang buruk rupa, jauh dari sempurna, dan tidak selalu
diinginkan.
Para penghuni padepokan
mengajarkan pada pembaca bahwa ketidaksempurnaan memiliki konsep
kesempurnaannya sendiri. Tokoh Maya memainkan peran bahwa bukan keindahan yang
menjadikan manusia istimewa di hadapan Bhatara Guru, melainkan pengabdian. Maya
percaya bahwa ia adalah abdi seni, abdi Eyang Ki Lurah Semar, sebuah simbol
pertahanan, dewa bagi orang-orang berkaki pendek, dan penenang bagi mereka yang
bersedih dengan ketidaksempurnaan.
Dulu
Pada bab ini, Ayu mengajak
pembaca bernostalgia dengan pengalaman Saman ketika ia baru saja diangkat
menjadi frater. Karena concern di bidang pertanian, maka ia ingin mempelajari
spiritualitas pertanian dengan Suhubudi. Dan yang membuat saya gemas adalah
pertemuan Saman dengan Parangjati kecil yang pada akhirnya membuat mereka akrab
dan saling surat-menyurat satu sama lain. Sebelum berpisah, Parangjati
menghadiahi Saman sebuah mustika yang ia temukan ketika bermain di kaki gunung.
Batu itu bernama batu Super Semar.
Orang-orang percaya bahwa
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang asli telah hilang. Yang ada
hanyalah salinannya. Tapi, para juru klenik bercerita bahwa pada saat itulah
batu mustika tersebut muncul begitu saja. Sebutir batu akik dengan wajah Semar
dan dua garis seperti angka sebelas di dalamnya. Batu itu hadir secara gaib,
sebagai tanda restu roh nusantara terhadap pemerintahan Orde Baru. Batu
Supersemar mengandung restu kekuasaan untuk satu dasawarsa. Legitimiasi dari
rakyat bisa diperoleh lewat pemilu setiap lima tahun sekali. Akan tetapi restu
dunia gaib harus didapat setiap sepuluh tahun. Maka diam-diam terjadilah
perburuan batu ini.
Banyak pihak yang
menyayangkan sikap Suhubudi yang merestui niat Parangjati untuk memberikan batu
itu kepada Saman. Sehingga jejak batu itu tidak dapat ditemukan karena telah
menjadi milik pribadi. Hingga akhirnya Saman mengirimkan surat kepada Yasmin
beserta mustika yang tidak diketahui nilainya itu.
_________
Saya selalu salut dengan
perjuangan Ayu dalam mengembangkan ide cerita sehingga membuat saya haus untuk
terus membaca dan bahkan mengulang lagi untuk membaca karya-karyanya. Gelar Ayu
sebagai Kritikus Spiritual memang cocok dan patut diberi standing applause atas
karya-karyanya yang berani, menggugah, dan bermuatan kearifan nusantara.
Bersama novel ini, pembaca
juga diajak untuk lebih kritis terhadap semboyan #MenolakLupa yang sering
digembar-gemborkan oleh para aktivis. Dan saya selalu suka cara Ayu menghadirkan
"kebetulan-kebetulan" yang ellegant.
Terakhir saya hadirkan
quotes favorit saya:
“Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kamu percaya bahwa itu tidak bermakna?”