Pages

Gempa Yogyakarta

Jumat, 20 Januari 2012
Ini kisah nyata. Kejadian ini aku alami ketika tahun 2006, 27 Mei.
Pagi itu seperti biasa, setelah shalat shubuh berjamaah di aula asrama Ummu Salamah di pesantren, aku membuka buku sembari menunggu antrian mandi. Berhubung urutannya masih lama, aku kembali menekuni catatan Bahasa Inggris karena bakal ada ulangan sama Ustadz Arief.

Saat itu aku masih kelas 2 SMP. Tahun kedua di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu, persis seperti yang kuingat, waktu menunjukkan pukul 05.45. Dikamar masih ada 4 orang dari 6 personel kamar. Ada Kiki yang sedang tidur di ranjang atas, Vetty yang sedang menyetrika, Linggar yang baru masuk kamar untuk sarapan, dan aku yang sedang duduk dikasur sambil belajar.
Dengan sangat fokus, aku menghapal pelajaran. Kalimat demi kalimat, tanpa mearasa ada yang berderak sedikitpun. Tapi ketika itu aku seperti mendengar gemuruh api yang mendidih.
Getaran yang awalnya pelan, tiba-tiba saja menyalur melalui kulit dan syaraf indraku, lalu ke otak, mengisyaratkan bahaya. GEMPA! SIAL!

Kami yang sedang dikamar langsung panik keluar, bingung juga mau kemana. Linggar yang sedang asyik menyantap makanan langsung melempar piring dan berlari ke luar kamar. Vetty juga membiarka setrika begitu saja dan kabur. Kiki yang ajaib; lompat dari ranjang atas ke bawah. Perlu diketahui, kasus ini bisa menyebabkan encok, retak tulang dan gatal-gatal (kalau yang terakhir bohong :p). Aku entah kenapa, keluar paling akhir dari kamar. Entah karena tidak sayang nyawa atau memang belum 100% nyawanya.
Kebanyakan anak asrama; yang berjumlah 49 orang itu menuju ke lapangan jemuran. Ya, itu satu-satunya tempat yang tidak beratap dan menghadap langit. Gempa itu semakin mengguncang. Kami semua berteriak panik. Semuanya berpelukan, takut. Ibu dapur pun juga tak kalah panik sambil beristighfar. Ya Allah, akhir hidupkah ini?

Teman-teman yang dikamar mandi pun panik dan hanya memakai penutup seadanya saat keluar. Berhubung kemarin malam hujan, koridor menuju lapangan jemuran juga menjadi licin. Ada yang berlari dan terpeleset jatuh dengan keras. Aku yakin itu sangat sakit. Biasanya kami menertawakan hal-hal yang lucu seperti itu. Tapi entah kenapa semua kelucuan jika dicampur dengan getaran 5,9 skala ritcher akan menjadi suram.
Setelah gempa perdana (kayak album aje :p) selesai dan memastikan bahwa tidak akan ada gempa dahsyat lagi, kami menekuni aktifitas masing-masing. Tapi aku tidak berniat ke kamar melainkan menuju ke Aula, tempat piala dipajang.

SH*T! Semua piala itu pecah! Hancur berantakan. Padahal baru minggu lalu kami menjuarai lomba antar asrama SPEN-C. Yah, sayang sekali!
Teman-teman yang berada di asrama beragam ungkapannya. Ada yang asih ketakutan, menangis, heboh, panik, syok, trauma. Keputusan yang dibuat pun berbeda-beda. Ada yang mau pulang ke rumah, ada yang mau bolos sekolah, ada yang jadi takut mandi (alasan cuy :p haha). Akhirnya aku nekat menuju kamar mandi dan mandi secepat kilat. Sudah pukul 06.30, aku berangkat ke sekolah sendirian. Pikirku keadaan akan tetap sama seperti kemarin-kemarin. Maka akulah yang perdana paling rajin berangkat ke sekolah sendirin. Saat dalam perjalanan menuju sekolah, aku dikatai sama dua orang mas-mas,

“ Ora usah sekolah mba! Sekolahe ancur~”, katanya sambil tertawa dengan temannya. Entah kenapa aku kesal. Kalau bukan karena jilbab dan almamater pesantren, mungkin orang itu sudah kugampar karena kesal. Aku paling benci dengan orang meremehkan pendidikan.
Aku tetap berjalan dengan cepat tanpa ragu. Hancurkah sekolahku?

Saat itu Jalan Suronatan sepi sekali. Biasanya jika shubuh begini sudah banyak orang berlalu lalang. Mbah yang biasa berjualan gudeg juga tidak dagang hari itu. Tidak ada anak sekolah yang berpapasan denganku seperti biasa. Para mbok-mbok yang membawa anak balitanya jalan pagi juga nihil. Semua toko tutup. Hanya ada sedikit saja yang lewat atau keluar rumah. Mendadak Jalan Suronatan seperti di film I am The Legend.

Ketika memasuki gerbang, aku sudah ga keruan rasa. Dan saat memasuki areal sekolah! Jreng, jreeeng! SEKOLAHKU RETAK! TIDAKK!
Ada kaca jendela yang pecah. Atap-atap hancur. Ada koridor yang retak. Ampun! Aku mau sekolah~
Aku hanya pasrah dan berusaha bersikap tenang dengan duduk di teras lantai bawah. Berhubung terlalu bahaya untuk ke kelasku di lantai 2. Jadi aku kembali menekuni buku catatan bahasa inggris-ku. Aku kembali menghapalkan lagi.

Dan saat itu ada Bapak penjaga sekolah datang sambil bawa gerobak. Dia memunguti atap yang berjatuhan dengan sabar. Dan saat posisi-nya berada di dekatku, dia berkata,
“ Mungkin hari ini ga ada kegiatan belajar mbak”, katanya ramah sambil memunguti atap yang lain. Aku hanya menganggukan kepala.
Dan beberapa jam kemudian, para siswi datang berangsur-angsur memenuhi lapangan. Hanya saja, tidak semua berpakaian lengkap. Ada yang hanya memakai sandal jepit, kerudung bergo, bahkan masih memakai celana tidur. Semuanya tampak paik dan takut. Mungkin kejadian seperti di asramaku juga mereka dialami di asrama masing-masing. Teman-teman sekelasku juga ada yang datang. Aku menanyakan bagaimana kedaan mereka. Bahkan lebih parah. Katanya ada senior yang kejatuhan genteng di kepalanya sampai berdarah. Kasihan.

Akhirnya kami semua diarahkan untuk lesehan di lapangan, mendengarkan pengumuman dari Direktur sekolah, ibu Dra. Fauziah Tri Astuti. Dia membesarkan dan menenangkan hati kami dengan bilang, “ Berserah dirilah hanya kepada Allah. Jangan panik~ Kita harus tetap tenang”, ujar salah satu kutipan dari kata-katanya yang kuingat.
Akhirnya kami pun bubar dengan diliburkan seminggu. 1 minggu pemirsa! Lumayan lama untuk ukuran libur unpredicted di Madrasah kami. Ketika aku pulang, suasana kampung sekitar juga tak kalah panik. Ada yang sudah mengeluarkan barang-barang keluar rumah. Rata-rata dari mereka memutuskan untuk berada di luar rumah, karena jika terjadi sesuatu mereka bisa sesegera mungkin lari.

Ketika berada dijalan, kamisemua berombongan menuju asrama, tiba-tiba dari arah utara ada yang berteriak, “ Tsunami! Tsunami!”. Sontak kami semua berlari menuju arah barat. Bahkan warga kampung juga ikut berlari mencari keselamatan. Aku bersama teman-teman lari ketakutan. Bayangan tsunami Aceh yang kami saksikan di TV juga terngiang. Ketika aku berlari ke arah Barat, ada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa yang punya Gerai Motor yang biasa kulihat sedang menggendong dua bayi kembarnya. Dia juga tak kalah panik. Tapi larinya tidak secepat kami karena menggendong 2 bayi. Aku mau menolong, tapi sudah keburu memikirkan diri sendir sehingga tidak mengindahkan itu. Ya Allah, ketika sedang kesulitan manusia itu memang jarang sekali masih memperhatikan sesama. Kalau ingat ini, aku ngerasa bersalah banget ga bisa nolong.

Dan ketika masih berlari ke arah barat, ada orang yang berteriak lagi, “ Tsunami!”. Aku sontak panik bersama teman-temanku. Membayangkan banjir dahsyat yang menyerang dari dua arah. Kiamat kah ini?

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar