Baru saja melihat foto teman saya di facebook. Wajahnya terpancar bahagia dengan riasan tebal dan gaun kebaya. Ia berpose berdiri di pelaminan bersama beberapa teman yang juga saya kenal.
Dia begitu muda. Lahir tahun 1993 awal. Rasanya baru kemarin dia minta kuajari mengenai direct-inderect ketika kami sekelas di salah satu lembaga kursus di Pare sekitar tahun 2010. Wajahnya yang polos dan selalu ingin tahu, membuatku kadang gemas dengan tingkah lakunya. Nama depannya pun sama denganku.
Aku bingung. Ketika melihat teman-teman yang seumuran telah mencapai dan menempuh hidup barunya bersama pasangan dengan ikatan pernikahan, ada dua hal yang selalu terlintas di pikiran.
Pertama, senang. Aku turut berbahagia jika ada temanku yang merayakan kedewasaannya, baik ulang tahun, introspeksi diri, perubahan hidup, pembebasan diri dan juga pernikahan. Walaupun ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa menikah adalah pemutus kebebasan dan alih kuasa atas otonomi kehidupan pribadi, ia pun menyajikan keindahan yang mampu membayar harga kebebasan dengan kebersamaan, pembentuk pengembangan diri dan potensi, dan saling support dalam pencapaian hidup.
Aku senang melihat teman-teman yang telah berani mengambil jalan komitmen hidup dengan ikatan pernikahan. Mereka jadi lebih terfokus tujuan hidupnya dan terlepas dari "permainan buang-buang waktu" ala ABG di mana ngambek, cemburu, putus-nyambung, gombal-gombalan dan banyak hal non produktif lainnya yang sangat akrab di kala pacaran. Sederhananya, mereka mempersingkat waktu kekanakan yang panjang dengan berani terikat dalam pernikahan.
Kedua, sedih.
Apakah mereka yang baru memasuki umur 20 awal telah siap mentalnya? Apakah mereka akan memiliki anak saat itu juga? Bagaimana dengan penghasilan perbulan untuk biaya hidup? Apakah masih tinggal di rumah orangtua atau mertua?
Ada begitu banyak pertanyaan pesimistis terlintas ketika mengetahui si anu dan si anu menikah. Resiko, resiko dan resiko. Kesiapan mental juga yang paling utama. Dalam pikiran kedua ini, aku menitikberatkan pada siapa yang akan mendominasi dalam rumah tangga.
Juga jika salah satu pasangan tersebut tidak menempuh pendidikan formal, sehingga terdapat ketimpangan intelegensia, mana kita tahu siapa yang akan membodohi siapa?
Aku punya contoh teman yang nekat berkomitmen saat lulus SMA. Ia dan suaminya adalah teman yang kukenal baik. Dan satu tahun berselang, di mana seorang putra yang lucu telah lahir, mulai terdapat prahara dalam rumah tangga. Si suami masih mau main-main dan nongkrong bersama temannya, si istri merasa tidak dihargai dan dibantu dalam mengurus anak. Keduanya belum memiliki penghasilan tetap dan masih ditampung oleh orangtua si istri. Setiap hari aku selalu saja dapat melihat status temanku itu di facebook berisi keluhan-keluhan yang langsung mengarah ke objek. Mulai dari perselingkuhan suaminya, suaminya yang tidak berpenghasilan, suaminya yang pasif, suaminya yang blablablaaa. Buum! Semuanya dapat diketahui oleh publik mengenai isi rumah tangganya. Ketidakmatangan salah satu pihak (apalagi kedua belah pihak), sangat disayangkan, apalagi untuk tumbuh kembang anak. Kasihan kan jika sejak bayi sudah dipertontonkan hal yang tidak semestinya? #eetdah mi, kaya udah menikah dan punya anak aja ##eh, tapi bener juga sih~
Jadi dalam rasa senang maupun sedih dalam menanggapi peristiwa bersatunya dua insan ini mungkin terdapat banyak sekali spekulasi-spekulasiku mengenai pernikahan. Entah, pernikahan itu adalah sebuah misteri yang tidak dapat aku jabarkan karena aku belum melaluinya. Jadi aku belum sepenuhnya berhak juga untuk menjudge tentang pernikahan.
Haha, salam!
Umi
Depok, Kamar Kosan super berantakan
20.14
Hujan dengan gelegar membahana dan angin yang emosi
Aku, Amigdala dan Logos Frontal
Rabu, 13 Maret 2013
Suatu pagi yang terlalu terik untuk dibilang pagi, aku di depan meja berpikir.
Aku:
Damn you, Amigdala! Kenapa kau mempermainkan hidupku? Bentukmu yang hanya sebesar biji almond itu sudah membuatku menguras air mata. Kenapa kau selalu menangkap emosiku?
Amigdala:
Hey, bukan salahku ya kalau kau memutuskan untuk jatuh ke perasaan itu! Tugasku hanya menangkap luapan emosi yang kau rasa. Salahkan logos frontal dong karena dia tidak bisa menggiringmu berpikir logis!
Aku berbalik kepada logos frontal sambil berkacak pinggang. Meliriknya, menuntut jawaban.
Logos Frontal:
Whoa, whoa,tenang dulu~ Aku selalu punya jawaban jitu di mana kalian tidak pantas menyalahkanku.
Cinta itu mana ada sih yang logis?
Bukan aku pelakunya, tentu saja Kau sendiri pelakunya~
Aku:
Damn you, Amigdala! Kenapa kau mempermainkan hidupku? Bentukmu yang hanya sebesar biji almond itu sudah membuatku menguras air mata. Kenapa kau selalu menangkap emosiku?
Amigdala:
Hey, bukan salahku ya kalau kau memutuskan untuk jatuh ke perasaan itu! Tugasku hanya menangkap luapan emosi yang kau rasa. Salahkan logos frontal dong karena dia tidak bisa menggiringmu berpikir logis!
Aku berbalik kepada logos frontal sambil berkacak pinggang. Meliriknya, menuntut jawaban.
Logos Frontal:
Whoa, whoa,tenang dulu~ Aku selalu punya jawaban jitu di mana kalian tidak pantas menyalahkanku.
Cinta itu mana ada sih yang logis?
Bukan aku pelakunya, tentu saja Kau sendiri pelakunya~