Istilah teater tradisi adalah bentuk sajian teater yang berakar dari tradisi budaya suatu daerah tertentu. Teater tradisi yang dikatakan sebagai kesenian pinggiran atau kesenian rakyat, merupakan sebuah kepemilikan bersama oleh masyarakat. Setiap daerah dan wilayah memiliki kekhasannya tersendiri dalam menunjukan seni pertunjukannya. Teater tradisi merupakan bagian dari seni pertunjukan di Indonesia.
Seni pertunjukan merupakan sri panggung di antara semua seni di Indonesia. Tidak bisa tidak jika di dalam suatu negara di mana kepandaian membaca dan menulis yang popular dan fungsional, tidak pernah menjadi tradisi hidup dan di mana yang merupakan tradisi adalah masyarakat yang agraris serta komunal dan berorientasi pada raja. Ritual desa di seluruh nusantara pada kenyataannya merupakan seni pertunjukan tradisional yang mengagungkan para dewata atau para leluhur. Wayang Jawa, Sunda dan Bali tidak dapat dipisahkan dari ritual padi yang mengagungkan Dewi Sri dan para leluhur. Begitu pun dengan pertunjukan teater tradisi.
Ketika ibu kota kerajaan beserta tempat raja telah ditaklukan berkembang, seni pertunjukan yang diserap dan disucikan oleh keraton, menjadi bagian ritual fungsional dari istana. Dan ketika kota-kota besar dan kecil bermunculan dan berkembang, seni pertunjukan pun dijadikan seni pertunjukan bagi masyarakat urban. Dalam kasus ini teater tradisi yang pada awalnya merupakan kesenian yang berasal dari daerah atau desa karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis setiap daerah, kini mulai menjamah kota dengan segala inovasinya.
Sumber: Dokumen Pribadi |
Akan tetapi, kemerdekaan dan keputusan Republik yang baru untuk memperluas solidaritas kedaerahan menjadi solidaritas Indonesia yang satu, membawa dampak-dampak yang cukup besar. Generasi Jawa yang baru misalnya, makin lama makin banyak pengguna bahasa Indonesia sebagai media ekspresi mereka ketimbang bahasa ibu mereka sendiri. Ini mengarahkan kepada generasi baru yang semakin termarjinalkan dari bahasa serta sudut pandang pemikiran mereka. Bahasa Indonesia sendiri berhubungan dengan ide-ide modern dan baru yang mengarahkan kepada tertbitan-terbitan kontemporer. Dalam hal seni pertunjukan, mereka akan lebih tertarik pada teater dan film yang modern.
Teater modern sendiri merupakan tradisi baru bagi Negara. Sedangkan seni pertunjukan tradisi sendiri merupakan seni tua. Seni teater tradisi yang dikenal selamanya merupakan teater yang total dan sintesis, di mana teater itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dan alam. Para penonton menyaksikan dan menganalisis pertunjukan tidak secara terpisah, akan tetapi mereka adalah bagian dari pertunjukan tersebut. Walaupun terjadi perkembangan dari seni pertunjukan tradisional populer atau kemersial seperti wayang wong, ketoprak, dan ludruk di kota-kota di Jawa yang menjadi semakin kurang total, akan tetapi setidaknya terdapat unsur “menonton secara sintesis dan mengerti” teater, masih ada.Seni pertunjukan teater tradisi yang sempat menjadi sri panggung seni dikarenakan kedudukan yang sangat terpusat dalam ritual keagamaan dan masyarakat, telah sampai pada kedudukan ganda ketika ia hadir pada masyarakat urban. Pertama adalah sebagai hiburan dan yang kedua adalah sebagai tuntunan. Pengasingan seni pertunjukan dari peran ritual, penyesuaian yang diperlukan bagi tuntutan jaman dan tempat, telah menjadikan seni pertunjukan teater tradisi selaku kebudayaan massa, sebuah fenomena yang tidak lagi padat.
Teater Tradisi Kini
Dewasa ini media massa merupakan tampuk dari segalanya. Dengan media, segalanya dapat menjadi lebih mudah, cepat dan praktis. Sebagai entitas budaya, media semakin melengkapkan diri ketika teknologi komunikasi menjadikan dunia bagaikan dilipat. Dalam hal ini teater tradisi pun tak luput dalam genggaman media. Bukan hanya ketoprak saja yang ditelevisikan, tetapi wayang kulit yang sampai kini belum menjadi wayang pop atau ketoprak massa seperti sandiwara radio atau sandiwara televisi seperti di Amerika Serikat.
Wayang tetap menjadi wayang, ketoprak tetap menjadi ketoprak, dan sandiwara tetap sandiwara yang berbeda dengan film ataupun video klip. Perkembangan ilmu dan teknlogi komunikasi dunia, dengan cepat merambat ke Indonesia sering tanpa filter yang cukup berarti kecuali barangkali bea masuk atau berbagai peraturan guna menjaga stabilitas kita dalam berbangsa dan bernegara kesatuan. Namun demikian, akulturasi, inkulturasi, dan asimilasi akan tetap berlangsung, karena media juga merupakan agen kebudayaan, agen transformasi budaya bangsa.
Almarhum Djadoeg Djajakusuma, dari IKJ merupakan salah satu tokoh di bidang kesenian pinggiran (tradisi). Tanpa pernah segan ia rajin bergumul dengan para seniman wayang orang, wayang kulit, lenong dan teater rakyat yang lain. Dibawanya kesenian-kesenian tradisional itu ke ranah seni modern di Jakarta. Salah satunya dengan memfasilitasi seni-seni tradisi ini untuk bisa pentas di Taman Ismail Marzuki yang pada masa-masa itu masih didominasi oleh gairah teater modern yang berkiblat ke Barat. Hasilnya cukup dahsyat. Di masanya, seni lenong berhasil direvitalisasi sampai bisa menggaet penggemar dari kalangan muda. Lewat kerja keras dan lobinya ke pemerintah DKI Jakarta, Wayang Orang Bharata seolah menemukan kembali semangat baru hingga mampu menjadi tontonan favorit, terutama di kawasan Senen.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dengan berubah bentuknya suatu seni pertunjukan, maka akan menghilangkan kearifan dan nilai estetis dari pertunjukan. Seni teater tradisi dewasa ini mulai menampakkan wajah barunya melalui berbagai inovasi agar mudah diterima oleh masyarakat kota. Misalnya, dengan membahas sesuatu yang “kekinian” pada saat tokoh Punakawan tampil, padahal setting waktu yang digunakan adalah jaman kerajaan. Atau ada pula istiah “Indonesiasi Wayang”, dimana wayang dimainkan dengan bahasa Indonesia. Ada pihak yang menyayangkan dan ada pula yang tidak. Padahal teater tradisi sendiri telah mengalami perubahan jauh-jauh hari ketika ia mulai keluar dari tembok keraton, lalu dinikmati oleh masyarakat non bangsawan. Karena kesenian merupakan suatu hal yang dinamis, maka ia mau tidak mau mengikuti selera masyarakat urban. Walaupun terkesan mengkapitalisasi seni teater tradisi dengan mengkomersialisasikannya, ini merupakan salah satu upaya agar masyarakat tetap menyadari keeksisan teater tradisi di tengah gempuran budaya asing.
Daftar Pustaka˗ Kayam, Umar (1997). Jalasutra. Lifestyle Ecstasy; Budaya Massa Indonesia. Jakarta.˗ Jatman, Darmanto (1997). Jalasutra. Lifestyle Ecstasy; Pluralisme Media dalam “Era Imagology”: Sketsa Interaksi Budaya Media dengan Budaya-Budaya Etnik. Jakarta.˗ http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/23/djadoeg-djajakusuma-membangkitkan-seni-peran-tradisional-125237.html.˗ http://harrydfauzi.wordpress.com/tag/teater-rakyat/.
0 komentar:
Posting Komentar