Ini tulisan saya untuk reportase ringan ketika mendaftar jadi anggota SUMA UI 2012 angkatan #22 (20/10/2012)
__________________________
Setelah libur panjang semester genap, kegiatan perkuliahan dimulai pada tanggal 3 September 2012. Semester baru, suasana baru. Itu yang kerap disebut-sebut para mahasiswa Universitas Indonesia menjelang menghadapi semester baru. Bertepatan dengan itu, bermunculanlah wajah-wajah baru di kampus. Mereka tak lain adalah mahasiswa baru yang bergabung dengan keluarga sivitas akademia ini. Maba (mahasiswa baru), predikat yang akan menempel untuk setahun lamanya bagi mereka yang baru bergabung menjadi bagian dari kampus ini.
Sebuah tradisi non tertulis di beberapa fakultas mewajibkan mahasiswa baru untuk memakai atribut ke-mabaan mereka. Salah satunya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, dimana pada minggu ketiga perkuliahan telah marak pemakaian atribut dan nametag pada maba. Setiap jurusan akan berbeda satu sama lain. Atribut diatur oleh senior yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) masing-masing sesuai dengan program studinya.
Atribut berupa nametag, topi, bando, buku tandatangan senior, pin, pemakaian jas kuning dan bahkan kacamata hitam kerap terlihat sebagai pemandangan umum di kampus FIB baru-baru ini. Identitas Maba dengan gamblangnya terlihat jelas dengan penggunaan atribut tersebut.
Ditemui di Taman Arkeologi FIB, Dewi, mahasiswi program studi Cina angkatan 2008 berpendapat bahwa keberagaman atribut pada maba merupakan representasi senior mereka di jurusan. Senior sebagai pengembang ide dan maba harus menggunakan kreatifitasnya untuk membuat atribut yang telah ditentukan. Bagi Dewi dengan pemakaian nametag, ia dapat mengetahui yang mana adik kelasnya di jurusan dan mana yang bukan. Bagi Dewi dari sudut pandang senior yang melihat juniornya memakai atribut, terdapat beberapa fungsi. “ Menurut gue ada dua fungsi pemakaian atribut pada maba. Yang pertama yaitu fungsi memorial. Dengan pakai nametag lo bakalan inget bahwa lo dulu juga pernah jadi maba. Ada kenangan tersendiri ketika lo ngelihat ada maba yang pakai nametag kaya jaman lo jadi maba. Yang kedua itu adalah fungsi eksistensi. Lo nggak mungkin bisa dikenal senior secara langsung kalau nggak pakai nametag”, ungkap mahasiswi asal Mojokerto ini. Ia memang mengakui bahwa tidak harus dengan memakai nametag atau atribut maba untuk dapat dikenal dan diakui oleh senior, tapi cara tersebut merupakan cara cepat yang efektif selama ini.
Tya, mahasiswa baru jurusan Sastra Indonesia mengaku bahwa pemakaian nametag memiliki sisi positif dan negatif. “ Walaupun pakai nametag itu ribet, tapi dengan pemakaian nametag ini juga jadi lebih dikenal sama senior. Kan bisa eksis juga kalau pakai nametag. Lagian masih bersyukur kita cuman kaya begini, nggak kaya jurusan lain yang atributnya lebih parah dan bikin malu kaya Sastra Cina, Sastra Arab dan Sejarah”, ujarnya.
Saat ditemui di Perpustakaan Pusat UI, Edhna, maba Sastra Cina 2012 mengakui bahwa ia tidak berkeberatan memakai atribut maba. Atribut mereka berupa bando yang diberi karton merah dengan hiasan bunga-bunga membentuk setengah lingkaran berwarna merah yang jika dilihat seperti putri-putri Cina dalam film kolosal dan nametag berbentuk lampion bulat berwarna senada dengan foto 3R menempel disana. “Aku sih sama sekali nggak keberatan. Soalnya kata senior ini kan udah turun temurun. Malahan sekarang kita bangga kok pakai atribut Cina. Kalau dibandingkan dengan jurusan lain yang atributnya nggak heboh seperti kita, malahan aku ngeliatnya ga keren”, ujar Edhna yang masuk UI melalui jalur SNMPTN Undangan itu. Bagi Edhna, ia dan kawan-kawannya menjadi lebih dekat satu sama lain dengan pemakaian atribut seperti ini. Ia merasa bahwa atribut adalah pemersatu angkatan di tengah perbedaan antara maba yang masuk UI melalui jalur reguler dan yang non reguler.
Ina, mahasiswi Sejarah 2012 berpendapat bahwa pemakaian nametag itu wajar bagi mahasiswa baru. Menurutnya dengan pemakaian nametag pada maba sangat membantu untuk beradaptasi di lingkungan kampus, sebuah lingkungan baru bagi mereka yang baru saja melepaskan predikat siswa menjadi mahasiswa. “Nametag mah wajar ya. Aku sih terima-terima aja kalau pakai nametag. Palingan yang ditakutkan itu kalau lupa bawa. Takut aja kalau ketahuan senior nggak pakai nametag”, ungkap mahasiswi yang berasal dari Aceh ini. Ketika ditanya apa latar belakang mau menggunakan nametag di lingkungan kampus, Ina menjawab alasannya adalah takut dengan senior. Terkadang ia juga kesal jika ada teman-temannya yang melanggar ketentuan penggunaan nametag di lingkungan kampus. “Kesal aja. Kesannya kan kaya nggak mau sama rasa sama rata. MT (makan teman-red) banget”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Hima dan kawan-kawan dari Sastra Jepang. Hima yang berasal dari Malang ini mengatakan bahwa pemakaian atribut yang berupa nametag samasekali bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. “Malahan pakai nametag itu perlu, soalnya untuk memudahkan sensei (dosen) memanggil nama kami”.
Ada juga yang berpendapat bahwa pemakaian atribut sangat menguntungkan bagi maba sendiri. Adalah Djalal, mahasiswa Sejarah angkatan 2011 saat ditemui di area payung gedung IX mengatakan bahwa dengan memakai atribut senior pastinya dapat mengetahui yang mana mabanya dan mana yang bukan. “ Ini bukan masalah perploncoan terhadap maba. Ini merupakan alat adaptasi. Dengan adanya atribut, kita dapat membedakan maba dari 15 jurusan yang ada di FIB. Tanpa atribut, apakah kamu bisa mengidentifikasi yang mana maba Sejarah, maba Cina, maba Prancis atau maba jurusan lain? Engga kan?”, ujar pria asal Pati ini. Atribut pada maba menurut Djalal merupakan identitas awal selama memasuki awal perkuliahan. Menurutnya dengan pemakaian atribut jurusan selama 3 bulan atau setengah tahun saja belum tentu dapat mengidentifikasikan maba jurusan mana seorang mahasiswa tersebut, apalagi jika tanpa pemakaian atribut. “Tentunya pemakaian atribut juga memudahkan senior mengenal mabanya. Maba juga bisa meminta bantuan senior tanpa sungkan jika sudah saling mengenal satu sama lain, misalnya meminjam buku atau info proyek-proyek dari senior. Kan itu menguntungkan”.
Namun pemakaian atribut pada maba yang ditetapkan oleh senior justru membuat Dwi Gema Kumara yang akrab disapa Dugem, mahasiswa Filsafat 2011 mempertanyakan esensi dari pemakaian atribut tersebut. Menurutnya terdapat arogansi dari senior itu sendiri, juga terdapat motif balas dendam. Keliru jika kita menganggap dengan pemakaian atribut, maba tersebut menjadi lebih eksis. Malahan terdapat kesenjangan antar maba dan senior. “Kalau dilihat dari sejarahnya teh, walaupun sudah memakai atribut tidak semuanya bisa membaur. Malahan terjadi perbedaan dengan adanya atribut tersebut. Lagian saya juga sama-sama bayar seperti mereka (senior), kenapa saya harus mau diperlakukan berbeda dan masih harus diatur-atur? Ini sangat paradoks”, ujarnya saat interviu via telepon. Ia juga kurang setuju dengan pengakuan maba yang mengatakan bahwa penggunaan atribut merupakan alat adaptasi terhadap lingkungan kampus. “Senior selalu menekankan pada maba ada budaya memakai atribut di FIB itu harus terus dilanjutkan. Seolah-olah jika bukan kalian (maba) maka siapa lagi yang akan meneruskan budaya memakai atribut di kampus ini. Ini menimbulkan pertanyaan etika. Budaya yang harus dipertahankan itu seperti apa? Orang sama-sama mahasiswa kok, cuman bedanya ada embel-embel baru dan tidak”.