Suatu malam yang tenang, saya yang lagi jelek (memang dari sananya sudah jelek :p ) berlatih menulis hanzi dikamar, tiba-tiba dapat durian runtuh, eh sms runtuh (ya kaliii....). Dari seorang teman kenalan (sebut saja Bunga (emangnya korban pemerkosaan?!)) dari daerah L waktu belajar di kampung P. Isi sms X seperti ini: " HalO, MaNiez! ApA kaBar sWeety? niS maNIs, kUangene puoL iKi".
Hah?
....
...
...
Saya langsung sdfghjkldftyuio34567890-12345678900gge3y8*(*(*)((_()(.
Tapi berhubung itu tidak adil baginya jika saya jijik (frontal banget) diperlakukan seperti itu, akhirnya saya jelaskan bahwa tidak semua perempuan suka dipanggil seperti itu. Tapi dia malah tetap mengeluarkan kata-kata lain yang sejenis. Akhirnya saya jelaskan langsung bahwa saya merasa direndahkan sebagai perempuan, tolong pakai kalimat yang wajar saja.
Mungkin kelihatan kaku, tapi ini untuk menegaskan bahwa itu perlakuan yang buruk. Wanita memang senang dipuji, tapi tidak senang diperlakukan begitu (tapi ini tergantung juga sih).
Rayuan gombal itu ibarat anggur buat perempuan. Memabukkan dan bikin teler. Jadi sebaiknya memang harus dihindari. Bukannya saya munafik atau menafikkan kenyataan wanita kadang senang diperlakukan seperti itu. Tapi akan berbeda halnya gombal yang berkualitas dengan gombal yang norak. Gombalnya Shakesspierre berbeda dengan gombalnya si Olga Syahputra. Dan yang perlu ditegaskan lagi adalah gombal berbeda dengan pujian.
Sastra memang tidak jauh kasusnya dengan hal ini karena memang ada penggunaan kalimat yang sangat membantu para penggombal, seperti majas personifikasi, hiperbola dan majas perbandingan.
" Kau bagaikan bulan di gelap malam". (
" Wajahmu secantik bunga bangkai".
" Jika kau kaus kaki, aku jadi sepatunya."
Itu sih kasarannya.
Bagaimana dengan sekarang?
Rupanya negara ini sedang dilanda booming kesusastraan pop berselera rendah sejak tahun lalu. Mulai dari lirik-lirik lagu dari penyanyi pendatang baru (dan lama) sampai ada sebuah acara televisi yang berisi kegombalan yang dikompetisikan. Seperti;
A: "Kamu tau nggak kenapa pelangi bentuknya setengah lingkaran?"
B: "Enggak. Emang kenapa"
A: "Soalnya setengahnya berada dimatamu"
Nah, dalam kasus diatas untung kalau si penjawab bukan anak pecinta sains atau dia tau bagaimana terjadinya pluralitas akan bias pelangi, kalau dia tau, gimana coba. Haha
Saya jadi ingat tepatnya tanggal 4 Januari 2012, ada sebuah berita yang mengatakan Cina memangkas acara-acara televisi berselera rendah. Hu Jintao dengan tegas mengatakan untuk memusuhi serangan-serangan negara Barat yang berupa penjajahan budaya. Otoritas penyiaran China yakin bahwa langkah memangkas program hiburan adalah hal penting demi memajukan layanan budaya kepada masyarakat dengan menawarkan program berkualitas tinggi.
Andaikata program penyiaran juga dikontrol oleh tangan-tangan yang semestinya (ditangan yang benar maksud saya), pasti kita akan melakukan hal yang sama seperti di China. Program televisi seperti acara kencan, kontes nyanyi-menyanyi, sinetron-sinetron yang terdapat adegan kekerasan didalamnya (yang semestinya tidak layak ditonton anak kecil). Diganti dengan program yang menayangkan tentang bela bangsa dan negara, acara yang menguras otak, tentang discovery alam Indonesia, jejak-jejak sejarah negeri dan hal-hal sejenis.
Sayangnya penyiaran di Indonesia masih mengandalkan selera pasar. Bahkan ada musisi yang dipaksa produser untuk mengikuti selera pasar, bukan berkarya sesuai dengan karsa, karya dan ciptanya. Nah, yang menentukan selera pasar adalah para pemirsa. Berarti pemirsa-lah yang memang harus pandai-pandai memilih tayangan yang bermanfaat. Sehingga acara-acara yang tidak berkualitas tersebut menurun ratting acaranya dan bubar. Bermunculanlah acara yang memang sesuai dengan kualitas tinggi untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Kalau kita membiarkan tayangan televisi berselera rendah seperti sekarang masih ditayangkan, contohnya seperti film silat yang ada adegan manusia kepala ular, ular kepala manusia, romantika si kaya dan miskin, hidup hedonis yang dipertontonkan secara gamblang; hemat saya (pinjam istilahnya Rahmat Gege :p ) kasihan masyarakat pedalaman yang berpendidikan rendah dan mengkonsumsi budaya pertelevisian secara gamblang dan memakan semua itu.
Dosen saya pernah bilang, jika masyarakat yang ada di pedalaman sana menelan secara bulat-bulat akan apa yang ada ditayangan televisi, maka akan terjadi perpindahan mindset akan hidup enak itu seperti apa. Remaja-remaja desa bukannya membangun daerahnya, malah sibuk memikirkan trend dan life style yang ditayangkan di televisi. Mungkin karena hal ini juga, banyak yang melakukan urbanisasi secara besar-besaran ke ibukota.
Eh, bentar-bentar! Tadi ngebahas tentang gombal ya?
Endingnya jadi ngebahas tentang dunia pertelevisian~ hehe. Loncat-loncat seperti kodok.
Ya sudahla, itu update blog saya dari perenungan dan semedi di Perpustakaan Teletubbies UI selama beberapa hari ini :p
0 komentar:
Posting Komentar