Pages

Terkunci

Senin, 21 Mei 2012
Update blog with my true story :)



Suatu siang yang panas aku turun dari kamar, menuju keluar mencari makan. Kupikir aku tidak akan lama jadi kutinggal saja handphone dan lain-lain, hanya membawa uang secukupnya. Dan saat diwarung, entah kenapa jadi malas balik kekamar dan memutuskan makan ditempat.

Setelah menghabiskan sekitar 20 menit untuk menikmati makan, aku langsung menuju kosan. Ada sebuah pagar besi hitam yang kokoh yang jika kita ingin masuk, tinggal didorong. Dengan langkah gontai aku menuju gerbang besi seperti biasa dan mendorong pelan. Tidak bergerak. Aku tekan lebih keras, kupikir karatan jadinya harus lebih keras. Tidak bergerak, malah keras sekali tidak mau terbuka.

Aku terkunci.

Kuintip celah-celah gerbang besi itu yang menghadap langsung pos penjaga kosan. Disana tidak ada orang, tapi tv disana tetap menyala. Ah, mungkin Pak Djuned sedang shalat,pikirku mencoba untuk menenangkan diri. Aku memutuskan untuk duduk pasrah sambil menunggu Pak Djuned, penjaga kosan yang kutebak sedang shalat.

1 menit.

5 menit.

10 menit.

 Kawan, jika memang hari itu semilir anginnya, sesejuk udara di Malang ketika pagi hari mungkin aku tidak akan kalap untuk berteriak, " PAK DJUNED! PAAAAK! BAPAAAK!". Nihil. Bahkan tidak ada jawaban sama sekali. Panas udara Depok bisa cukup membuat orang stres, apalagi disiang bolong seperti itu. Tapi ini bukan masalah panas atau dinginnya udara. Bukan juga masalah sabar atau tidaknya, tapi aku merasa bodoh sebagai penghuni kosan yang terkunci dan tidak bisa masuk di kos sendiri. Aku dorong-dorong gerbang besinya. Aku ketuk-ketuk. Aku mencari kayu/besi yang mungkin bisa mencungkil kunci bagian bawahnya. Tidak ada hasil.

Aku jadi seperti anak pembangkang yang dikurung, meminta dibukakan pintu oleh ibunya. Aku bahkan berteriak supaya suaraku bisa didengar penghuni kosan lain jikalau memang mereka mau membantu membukakan pintu. Aku mendongak keatas, apakah ada kemungkinan untuk memanjat. Sama sekali tidak ada lubang untuk bisa loncat ke dalam.

Aku diam, merengut wajahku. Aku tidak bisa tinggal diam disini saja.
Pikiran itu melintas sejenak yang tanpa pikir panjang kulaksanakan.

Ketika awal mencari kosan aku sempat keliling daerah kukusan dan akhirnya masuk ke Pondok Green (nama kosan-ku sekarang) untuk melihat-lihat. Aku bertanya kamar yang maa saja yang kosong. Penjaga menjawab ada 3, salah satunya dibelakang. Dan itu merupakan kamar paling pojok yang menyeramkan. Disana aku sempat melihat sejenis pintu berwarna hijau yang sepertinya terhubung langsung dengan gang belakang.

Dengan bermodalkan tebak-menebak jitu ala Umi Fatia, aku berdiri ingin melaksanakan explorer mencari jalan tembus. Ada banyak jalan menuju Roma, pikirku polos. Dan ketika lagkah ketiga kuayunkan, tali sandalku putus -____-a.
Akhirnya dengan jalan nyeker ayam aku berjalan turun menuju daerah kukusan bawah. Orang-orang ada yang melihat, ada juga yang cuek. Toh, aku cuek saja. Aku tidak pakai alas kaki juga karena sandalku putus, bukan karena mau cari sensasi (sensasi darimananya cba :p ).

Ada kemungkinan 3 gang jawaban dari itu semua. Aku coba gang pertama, kakiku terinjak batu yang agak tajam. Rasanya sakit sekali. Ternyata jalan buntu yang berakhir dalam rumah dempet warga. Masih ada dua gang. Pasti salah satu gang itu adalah jawabannya.

Gang kedua, yang tidak tepat dibilang gang, karena itu adalah dua gedung besar yang memiliki spasi dan bisa dimasuki orang untuk lalu lalang. Dengan yakin aku masuk dengan kaki yang sakit sambil menenteng sandal yang berakhir dengan tembok berlumut. Tidak apa-apa, mungkin gang ketiga adalah jawabannya. Biasanya kalau dalam film-film atau novel misteri, pilihan ketiga atau pilihan terakhir merupakan jawabannya. Pasti di gang ini.

Gang ketiga, aku diam sebelum memasukinya. Antara yakin atau tidak dengan gang terakhir ini. Kali ini kepercayaan diriku sudah habis, aku seperti hampa dan putus asa untuk tidak masuk gang ini. Pasalnya gang ini ada gerbang yang sepertinya rumah orang, tapi tidak bisa juga disebut rumah orang. Aku pun masuk untuk mencoba lagi dan ternyata dugaanku benar. Itu memang rumah warga, bukan gang. Jalan masuk menuju rumahnya terlihat seperti gang.

Dengan lagkah gontai, aku kembali menanjaki jalan atas kukusan setelah petualangan mencari gang di kukusan bawah. Aku masih yakin bahwa ada jalan belakang, tapi aku belum ketemu.
Dalam perjalanan, aku tiba-tiba terpikir sesuatu. Dan sesampainya di kosan (dengan harapan sudah ada yang membuka gerbang) gerbang hitam kokoh itu masih seperti semula. Tertutup rapat.

Pikiranku masih menyimpulkan berbagai instrument kejadian barusan. Aku baru tersadar. Ini merupakan kepingan jawaban dari-Nya.

Kosan dianalogikan sebagai agama. Maka banyak sekali orang yang ingin masuk tapi tidak bisa, entah karena beberapa hal. Ada juga yang memang penghuni kos itu (seperti aku misalnya) yang saat itu mencoba keluar sebentar (baca: membangkang, menyimpang sebentar) dan ketika ingin masuk, maka susah sekali untuk masuk lagi dikarenakan dikunci dari luar. Padahal aku adalah penghuni tetap disana. Perlu perjuangan dengan berbagai macam rintangan. Bahkan jika perlu dalam perjuangan itu bisa dinilai dan dicemooh orang orang-orang (kasus: jalan nyeker seperti orang gila cari sensasi di kawasan mahasiswa).
Bisa saja salah masuk jalan, setelah memprediksi yang mana yang benar, tapi akhirnya malah tidak mendapatkan jawaban. Endingnya ya kita harus kembali kepada-Nya.
Berpasrah.

Ya, akhirnya saya pasrah akan renungan itu. Duduk selonjoran sambil memijat kaki yang terkena batu. Sekitar 10 menit kemudian bunyi gemericit gerbang terbuka. Ada seseorang yang mau keluar, aku melihatnya penuh harapan dan bernapas lega.

Dia berkata, " Kan bisa dibuka pakai besi yang digantungin deket gerbang. Tinggal ditarik aja, terus kebuka deh!". Aku hanya terdiam malu. Salahku memang jika tidak mengenali kos lebih jauh seperti seluk-beluk yang kelihatannya remeh, tapi tidak pernah kuperhatikan. Ini kuanalogikan sebagai "Kenalilah Tuhanmu, kenalilah agamamu".
Aku hanya bisa mengangguk berterima-kasih kepada mba yang membukakan gerbang itu.

Dan tepat saat mba itu mau pergi, Pak Djuned datang dengan motornya. Tapi aku keburu malu pada diri sendiri. Keburu ingin naik kekamar dan menangis karena malu telah menggerutu tidak jelas, padahal memang karena salah sendiri. Malu karena tidak mengenali lebih dalam. Malu karena sudah bersikap kekanak-kanakan dalam berpikir.





0 komentar:

Posting Komentar