Pages

Dialogku dengan Meja, Kursi, Handphone dan Pensil Mekanik

Rabu, 25 April 2012


Aku merenggut malam, tanpa jejak. Merasa bodoh, karena ditenggelamkan oleh apa yang dipendam untuknya yang jauh.
Tanpa sempat menyingkap tabir tipis, tak ada kesempatan.
Bungkam, sembunyi dalam bungkam.


Kursiku bilang: "Kasihan kamu nduk~ tidak bisa jujur pada diri sendiri"

Mejaku membela: "Bagaimana bisa jujur dinegara yang sistem sosialnya seperti ini? Wanita yang maju duluan? Huh, jangan harap".

Handphoneku santai hanya berceletuk: "Didalam otakku, sudah ada nomornya. Gunakan saja aku~ di dunia yang serba modern ini apa sih susahnya. Jadi perempuan jangan terlalu dingin. Lagipula kau sering mengecek "kakak" itu lewat aku kan? Bahkan setiap hari. Seperti penguntit rupanya", ujarnya sambil kipas-kipas acuh.

Pensil mekanikku ikut mengomel: "Biarkan sajalah dia gila dengan pendam-memendam itu. Salahnya tak mau jujur juga, salahnya juga takut untuk merasakan "hal" itu kembali".

Mendengar itu aku langsung menghadapi pensil mekanikku.
" Hei, kau tau kenapa aku berusaha menjaga perasaan? Kau pensil tau apa sih tentang cinta??! Haa! Kau pikir gampang menyatakan perasaan, apalagi dengan batas teritorial yang sebenanrnya dekat tapi jauh!? Aku menjaga ini (sambil mengisyaratkan menunjuk dada) supaya aku tidak jatuh. Aku tidak mau itu bersatu dengan percikan air dalam air terjun dan ketika dibawah bersatu denga air sungai, lalu mengalir tenang. Gelembung itu hilang begitu saja kan?".

Meja bersorak membelaku.

Aku berdehem memulai kata-kata lagi, " Dia. Dia berbeda, pensil. Dia berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Dia lebih dari istimewa, yah walaupun aku belum pernah bicara langsung dengannya. Tapi itu saja sudah cukup".

Pensil mengangguk paham. Meja masih berpihak padaku. Kursi memunggungiku malas. Handphone daritadi sudah berada di alam mimpi.

Duniaku = Gila
Gila = Demi Tuhan, aku merinduinya

0 komentar:

Posting Komentar