Pages

Being Parents

Rabu, 29 Juli 2015
Apakah pernah terpikir oleh para calon orangtua, para pasangan muda yang baru saja menikah; apakah mereka pantas menjadi orangtua? Apakah mereka sudah cukup baik untuk menjadi panutan anak-anaknya? Apakah mereka selalu bangun pagi dan memasak sarapan? Apakah mereka akan kompak dalam mendidik anak-anaknya? Sudah dipersiapkan dengan baikkah mental dan kondisi perekonomian mereka?

Di sini saya sering sekali menemukan anak yang menjadi korban keegoisan orangtuanya. Ada yang tidak terawat karena ibunya sibuk memikirkan diri sendiri, ada yang kurus kering karena ayahnya tidak mencari nafkah dan menghidupi keluarga, ada yang begitu keras kepala karena sering terlalu dimanja dan dikabulkan keinginannya, ada yang tidak percaya diri karena sering dicap oleh orangtuanya, ada yang tidak mau berbagi karena tidak pernah diajari, dan lain sebagainya.

Seperti apa sih menjadi orangtua itu? Seperti apa menjadi ibu?

Apakah sangat menyenangkan seperti yang terlihat dalam akun instagram para seleb muda yang baru menikah dan punya anak, macam Dude Herlino dan Alyssa Soebandono? Ataukah penuh semak belukar dan rawan perceraian, seperti beberapa orangtua yang saya temui?

Memikirkan itu semua membuat saya merenungi diri apakah sudah cukup pantas menjadi orangtua, sehingga ada perjanjian-perjanjian tidak tertulis untuk diri saya sendiri.

~ Semoga segala kebaikan selalu menyertai kita semua. Amien.

Keluh

Sabtu, 11 Juli 2015
Memang susah menghadapi manusia pemalas, manusia yang dididik dengan internet dan kemudahan hidup. Pemimpi ulung, penggapai kesuksesan instan. Minu etos! Not valuable!

(Review) Babies-Thomas Balmes

Kamis, 09 Juli 2015
Judul: Babies
Type: Film Dokumenter
Sutradara: Thomas Balmes
Durasi: 79 menit



“A baby is God's opinion that the world should go on.” 
― Carl Sandburg

Film dokumenter ini menceritakan kehidupan empat bayi dari negara yang berbeda. Adalah Ponijao (Namibia, Bayar (Mongolia), Mari (Tokyo), dan Hattie (San Fransisco), yang ditampilan sejak saat baru lahir hingga dapat berjalan. Keempat bayi ini tumbuh besar di lingkungan, budaya, dan kondisi keluarga yang sangat berbeda. 
Ponijao
Scene dimulai dari Ponijao, seorang bayi yang lahir dari suku Himba di Opuwa, Namibia. Lingkungan tempat Ponijao lahir dapat dikatakan masih sangat primitif dan tentu saja unik. Di tempat tinggalnya tidak ada dokter, susu formula dan makanan bayi tambahan. Ponijao murni menggunakan alam dan interaksi dengan teman sebaya untuk memenuhi hasrat keingintahuannya.
Di Mongolia, ada Bayar, bayi pasangan nomaden Mongolia yang bekerja sebagi peternak. Bayar tinggal di padang sabana yang terhampar luas dengan langit biru yang membentang indah. Saat ibunya sedang mengurus ternak, Bayar ditinggal dengan kakaknya, Degi yang suka mengganggu. Sejak awal, Bayar sudah terbiasa berinteraksi dengan kucing, ayam dan sapi di lingkungannya. Karena daerah tempat tinggal Bayar sulit air, ia dan keluarga harus hidup efisien.
Bayar
Di Tokyo dan San Fransisco, Mari dan Hattie hidup bersama ayah dan ibunya dalam nuansa perkotaan. Mari dan Hattie mendapat perawatan mapan ala bayi perkotaan, seperti senam perkembangan otak, berenang di kolam, bermain di taman, mengunjungi kebun binatang, dan bersosialisasi dengan bayi-bayi lain di sebuh perkumpulan. Mari dan Hattie adalah gambaran bayi mapan yang tercukupi kebutuhannya.
Mari
Dalam segi sosial, Ponijao dan Bayar lebih mandiri karena "dibiarkan" mengenali lingkungan dan alam sekitar. Ada adegan menggemaskan saat Ponijao didorong oleh teman sebayanya yang dibalasnya dengan sebuah gigitan dan atau adegan Bayar yang kerap diusili oleh kakaknya. Dapat dikatakan Ponijao dan Bayar adalah contoh anak yang "dibiarkan" bergaul dengan manusia lain tanpa adanya pengawasan ketat dari orangtua dan menjadikan mereka sebagai anak yang riang, mudah bergaul, dan cepat belajar. Berbeda dengan Ponijao dan Bayar, Mari dan Hattie dalam kesehariannya kerap diawasi oleh orangtuanya. Yang menarik adalah ada adegan di mana Mari terlihat frustasi dengan kumpulan mainannya dan tidak banyak berinteraksi dengan bayi lain. 
Hattie

Keempat bayi dalam film ini ditampilkan secara jujur, tanpa adanya campur tangan dari pihak lain, tanpa ada dialog panjang, hanya bayi, bayi dan bayi. Momen-momen menawan dari mereka pun tak luput dari perhatian, mulai dari saat lahir, membuka mata untuk pertama kali, menangis, tengkurap/tiarap, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan. Film ini ingin mengatakan bahwa secara umum, perkembangan bayi di berbagai tempat sama. Yang membedakan hanyalah lingkungan dan situasi tepat mereka bertumbuh.
Proses pembuatan film dokumenter ini menghabiskan waktu sekitar dua tahun. Rata-rata ia akan berada di tiap-tiap keluarga selama dua minggu untuk merekam momen-momen tumbuh kembang mereka. Balmes mengambil gambar selama 45 menit setiap hari sehingga terkumpul video mentah selama 400 jam yang diedit menjadi film berdurasi 79 menit. Walaupun bayi-bayi ini belum sadar kamera, akan tetapi momen-momen yang ditangkap sangat lucu, unik dan juga mengharukan.

* * *
Menurut saya, walaupun kehidupan Ponijao dan Bayar tidak sebersih dan sebaik Mari dan Hattie, tapi mereka mendapatkan satu pelajaran yang paling mempengaruhi tumbuh kembang sebagai anak manusia, yaitu interaksi dengan alam bebas. Ponijao dan Bayar adalah contoh dari bayi yang dididik mandiri sejak dini. Mengandalkan insting, mereka menjadi bayi yang cepat belajar dan mudah bergaul. Ibu saya menamainya dengan istilah "anak alam", anak hasil didikan alam. Sedangkan bayi seperti Hattie dan Mari, walau memang tampak sekali sangat tercukupi kebutuhannya, perkembangannya lebih lamban dibandingkan anak alam karena kerap dibantu dan difasilitasi oleh kedua orangtuanya. 
Dan saya menangkap pesan bahwa dalam kehidupan yang serba kekurangan sekalipun, kebahagian tidak akan pernah pelit menampakan wujudnya. 
Selamat menonton :)

(Review) Pulang-Leila S. Chudori

Rabu, 08 Juli 2015
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 464 hlm.


Melengkapi bacaan tentang sejarah kiri di Indonesia, saya memilih Pulang. Novel ini mengambil garis linear antara peristiwa G-30 S(PKI) 1965, Revolusi Mahasiswa di Paris pada Mei 1968, Tragedi Kerusuhan Mei 1998, dan Runtuhnya Rezim Orba di Indonesia. Dimas Suryo, Nugroho Dewanto, Tjai, dan Risjaf, adalah empat sekawan yang tidak dapat pulang ke Tanah Air setelah peristiwa September 1965. 

Dimas Suryo, tokoh utama dalam novel ini, awalnya merupakan aktifis yang "netral"di Kantor Berita Nusantara, tidak memihak kiri (PKI dan Lekra) dan kanan (Masjumi). Adalah Hananto, atasan sekaligus mentor Dimaslah yang giat mengajak dan memperkenalkan dirinya dengan kawan-kawan Lekra. Hananto adalah tipikal aktifis sekaligus wartawan berwajah flamboyan yang tidak hanya bersemangat menyerukan komunisme di Indonesia, ia juga sangat bersemangat mengembara ke pangkuan perempuan-perempuan klas proletar walaupun ia sudah beristri. 


Walaupun kadang Dimas menghadiri acara kumpul-kumpul dan diskusi Lekra, ia menolak dan tetap bersikukuh tidak bergabung dengan mereka dan membentengi diri dengan sikap netral. Akan tetapi karena urusan rumah tangga Hananto yang sedang di ujung tanduk, Dimas terpaksa menggantikan Hananto untuk menghadiri konferensi International Organization of Journalist di Santiago, Cile pada September 1965. Perjalanan yang awalnya hanya untuk kunjungan, tertahan oleh kemungkinan akan ikut "diciduk" oleh aparat akibat peristiwa pembantaian para jenderal dan pembuangan jasad mereka di Lubang Buaya yang disinyalir perbuatan PKI. Penangkapan, interogasi, penculikan dan pembunuhan terhadap aktifis, sanak, kerabat, dan siapa pun yang pernah berhubungan dengan PKI pun digencarkan setelah Presiden Soekarno menandatangani perjanjian Supersemar. Dari situlah dimulai pengembaraan Dimas dan kawan-kawan ke beberapa negara, yang akhirnya disepakati menetap di Paris.


Dalam usahanya mencari cara untuk pulang, Dimas Suryo menikah dengan Viviene Deveraux, perempuan yang sangat terpelajar dan mau menerima Dimas dan kawan-kawan walaupun mereka eksil politik Indonesia. Setiap tahun, Dimas dan kawan-kawan mengajukan visa untuk ke Indonesia, akan tetapi pada saat itu juga langsung ditolak oleh KBRI karena ada kegiatan "Bersih Lingkungan" dan "Bersih Diri" yang diserukan oleh pusat.  Untuk mengobati kerinduan akan tanah air, Dimas dan kawan-kawan mendirikan restoran berbentuk badan koperasi yang bernama Restoran Tanah Air.

Walaupun jarak memisahkan, Dimas dan adiknya, Aji masih tetap berhubungan melalui telegram. Dalam surat Aji, selalu terselip kabar Surti, janda Hananto beserta kabar anak-anaknya, Kenanga, Bulan dan Alam. Walaupun sedikit, Dimas kadang mengirim bantuan secara finansial kepada Surti. Dimas dan Surti memiliki hubungan pada saat mereka masih kuliah di Fakultas Sastra & Filsafat UI dan berakhir dengan Surti yang memilih untuk mengakhiri hubungan dan menikah dengan Hananto.

Tahun demi tahun berlalu, Lintang Utara, buah pernikahan Dimas dan Viviene, tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang cerdas di bawah didikan Dimas yang pemuja sastra dan Viviene yang saat itu menjadi dosen di Sorbonne. Saat mengerjakan tugas akhir kuliah, dosen pembimbingnya menganjurkan agar Lintang membuat film dokumenter tentang G-30 S/PKI, di mana ayahnya merupakan bagian dari dampak peristiwa tersebut. Awalnya Lintang merasa Indonesia adalah negara asing sekaligus akrab bagi dirinya. Akhirnya terpaksa ia menemui ayahnya, yang sudah berbulan-bulan tidak ia ajak bicara karena suatu insiden.

Dengan membawa banyak pesan, banyak nama, dan titipan rindu, Lintang pada tahun 1998 menapakkan kakinya di negara asal ayahnya.Dengan bantuan keluarag, koneksi, juga sahabat, Lintang mulai mengerjakan proyek film dokumenter. Di sana ia bertemu dengan nama-nama yang ia sering dengar di Paris seperti Om Aji, Tante Retno, Rama, Andini, Bimo, Surti, Kenanga, Rukmini dan terutama Alam.


* * *

Hampir semua bangsa memiliki memori kolektif, seperti peristiwa genosida bangsa Yahudi yang dilakukan Jerman, genosida pada bangsa Armenia oleh Turki Utsmaniyah atau Revolusi Kebudayaan di RRT. Peristiwa G-30 S/PKI 1965 merupakan salah satu dari sekian memori kolektif bangsa Indonesia.

Mengacu pada peristiwa 1965, dewasa ini banyak sekali buku-buku baik fiksi maupun non fiksi hadir di tengah masyarakat, menguak tabir yang selama ini ditutup-tutupi oleh pemerintah orde baru dan kroni-kroninya. Berbagai kesaksian diungkapkan, ditulis, diberitakan dan dipublikasikan secara luas sehingga menjadi kisah yang kadang mengharukan, kadang memilukan, dan kadang membakar semangat. Peristiwa G-30 S/PKI adalah peristiwa yang tragis yang pernah terjadi di bumi pertiwi ini, yang sampai sekarang pun belum jelas siapa yang harus bertanggung jawab terhadap ribuan pembantaian aktifis PKI dan Gerwani.

Pada pertengahan tahun 2013, saya ikut menonton pemutaran tertutup The Act of Killing, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang mengisahkan tentang bagaimana cara pembantaian orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari setahun (1965-1966). Beberapa kesaksian membuat saya miris karena terlalu kejam jika dilakukan oleh anak manusia kepada anak manusia.

Novel "Pulang" mengangkat hal yang sama walaupun berbeda sudut pandang, yaitu dari korban yang tak dapat pulang ke Tanah Air. Alur yang digunakan adalah alur maju-mundur yang membuat pembaca semakin penasaran dengan akhir kisah novel ini. Gaya bahasa yang digunakan pun ringan dan mengalir secara elegan. Emosi pada cerita begitu dalam karena unsur cinta, perjuangan, dan kemanusiaan bercampur sehingga meninggalkan haru. Saya rasa novel sebagus ini tentu berasal dari wawancara pengalaman pribadi para eksil di luar sana yang tidak dapat pulang selama puluhan tahun.

Keterkaitan antara peristiwa 1965 dengan 1998 merupakan titik yang berkesinambungan, di mana angkatan 1965 menghasilkan korban sanak-keluarga dan kerabat yang juga diciduk aparta yang nantinya akan berjuang menjadi angkatan 1998, yang dalam hal ini bukan saja para mahasiswa, melainkan juga para aktifis LSM dan saksi. Bisa saja hubungan itu ada dan kemungkinannya sangat besar karena masih dalam lingkup masa kecil atau remaja pada saat pembantaian tersebut terjadi.

Selamat membaca :)

My Man

Selasa, 07 Juli 2015



Komitmen

"Kita harus berkomitmen dalam hubungan ini".
"Dimana komitmen kamu di organisasi?".
"Komitmen itu penting dalam seuah hubungan".

Seberapa sering kamu mendengarkan kata komitmen? 
Aku sering dengar waktu kecil orang mengucapkan kata "komitmen". Baik dari keluargaku maupun orang-orang sekitar yang berada di lingkungan perkembanganku ketika kecil. Didalam pikiranku yang samar-samar ketika itu, komitmen adalah sesuatu yang sakral seperti sebuah tiang untuk berpegangan. Ketika dijalani tidak boleh dilanggar.


Setelah menginjak hampir umur 17 tahun, aku lambat laun mulai mengerti apa yang dinamakan komitmen. Walaupun aku belum bisa mendefinisikan seperti di kamus oxford dan saat itu memang belum ada desire untuk membuka KBBI, aku mengerti rasa dan baunya. Bukan wujudnya. Menentukan definisi itu bagiku sulit karena terdapat ke-sujektifan didalamnya.  Seperti menguliti kulit kacang perlahan dengan memperhatikan seratnya. Beresiko tinggi.

Semakin seorang anak manusia tumbuh, maka perkembangan psikologisnya juga akan berubah. Semakin dewasa, maka ia akan terikat oleh apa-apa yang dinamakan tanggungjawab. Tanggungjawab tentu tidak epas dari komitmen. Dan kini, saat aku mulai dihadapkan bahkan sedang berhadapan langsung dengan apa yang disebut dengan komitmen, aku mulai mencari apa definisinya. Berhubung aku menjadi subjek dalam predikat si komitmen ini, kubuka KBBI (akhirnya), ia memiliki arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak. 

Komitmen yang selama ini kulihat dalam kehidupan dapat dibagi menjadi 3 jenis:
1. Komitmen atas diri sendiri (mono)
2. Komitmen dengan seorang individu (duo)
3. Komitmen dengan kelompok (community)

Komitmen mono adalah perjanjian terhadap diri sendiri dan tentunya sang pelaku telah mengetahui sebab-akibat dari perbuatan yang akan dilanggarnya atau dipatuhinya. Misalnya; Andre berkomitmen pada diri sendiri untuk tidak merokok dan minum alkohol dalam jangka panjang dengan tujuan menjaga kesehatan karena Andre memiliki penyakit komplikasi. Jika Andre melanggar komitmen, maka kesehatannya akan memburuk dan ia akan masuk rumah sakit kembali.

Komitmen duo biasanya berhubungan dengan sebuah ikatan antara dua anak manusia (entah hetero ataupun homo). Ini tentunya banyak mewabah dengan sepasang kekasih ataupun suami-istri.

Komitmen community dilakukan dengan lebih dari 2 pelaku mementuk sebuah komunitas yang didalamnya terdapat perjanjian.

Dan sebagai subjek, komitmen merupakan kata kerja (verb) yang akan dilaksanakan oleh sang pelaku.

Objek adalah hal, perkara, atau orang yang menjadi pokok pembicaraan; benda; hal yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan. Jika diflashback, sebuah perjanjian/kontrak tentunya dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Jadi objek dalam sebuah komitmen adalah isi dari komitmen (perjanjian) yang telah disepakati oleh sang pelaku.
Jika melaksanakan perjalanan komitmen tersebut maka sang pelaku akan sampai pada tujuan yang ingin dicapainya. Dan jika melanggar maka akan ada akibatnya. Hematku, akibat tidak selalu berakhir buruk. Kadang ada juga akibat yang membawa sang pelaku kepada sebuah jalan yang memang terbaik menurut ukurannya.


Dan ternyata ketika memasuki lingkaran komitmen yang sedang dijalani ini, banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dipikirkan matang-matang sebelum membuat/memutuskannya. Harus dilihat kembali setiap tindakan yang telah/akan dilakukan. Apa sebab-akibat didalamnya sebuah tindakan/rencana/pemikiran yang muncul dalam lingkaran komitmen ini.

Dengan berkomitmen, seseorang akan terikat pada sebuah tiang perjanjian. Tapi bukan berarti dengan berkomitmen seseorang akan kehilangan kebebasannya.

Nah, ada yang mau menambahi?


Classic on Me #Part 6

I'm Home!

With Nonoy

Mari bermain :D

Tapi, tapi...

Saya sendirian

Gimana dong? #samil pamer gigi

Ga papa deh~

Seru kok sendirian!



Eh, ada Ria kok!