Pimpinan Radar Bogor dan Pemuda Pancasila (Sumber: Google) |
Aku sempat berpikir, seberapa bahayakah film ini sampai memicu chaos seperti itu?
Dan beruntungnya kemarin aku berkesempatan menghadiri Diskusi Film The Act of Killing di UIN Syarief Hidayatullah yang diadakan LPM Institut, Angkriwan Warta dan satu pihak yang aku lupa. Tepat pukul 1.30, acara dimulai dengan pembukaan dan penayangan siaran ulang liputan dari Al-Jazeera mengenai film terkait. Kulihat bangku-bangku yang masih kosong dan beberapa saja yang ditempati. Ini mungkin karena publikasi yang dilakukan memang non-kooperatif oleh pihak panitia penyelenggara karena memang rahasia. Sebelum dimulai pun dibacakan peraturan-peraturan agar tidak memicu bahaya dari luar (misalnya update twitter "Watching The Act of Killing di UIN. Seru nich!", yang bisa dibaca Pemuda Pancasila yang merupakan salah satu followernya dan dilakukan penggerebekan~ bahaya kan?). Selain itu film juga tidak dapat dikopi sembarangan karena masih diputar terbatas dan rahasia.
Dalam siaran ulang itu tidak hanya Anwar Congo, salah satu eksekutor PKI yang diwawancara. Tetapi juga para pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan mantan pengikut PKI yang berhasil selamat dari pembantaian, diwawancarai mengenai sejarah pembantaian PKI pasca peristiwa 30 September 1965. Diperlihatkan kuburan massal dan lokasi pembantaian mereka (para PKI) di sebuah lubang besar. Liputan juga tidak hanya berlokasi di Medan, melainkan juga di Bali.
Salah satu keluarga eksekutor (Sumber:Dokumen Pribadi) |
Film ini merupakan film dokumenter dari sebuah pembuatan film mengenai pembantaian PKI. Disutradarai oleh Joshua Oppenheimer, seorang Antropolog lulusan Harvard University. Mengambil lokasi di Sumatera Utara, Medan, Joshua menghadirkan tayangan dengan adegan yang sangat natural (tentu saja ini kan film dokumenter, mi! #stupido).
Sumber: Dokumen Pribadi |
Cerdiknya, Joshua mengangkat tema ini dengan menghadirkan salah satu pelaku yaitu Anwar Congo sebagai aktor utama. Anwar Congo merupakan mantan catut karcis bioskop di Medan. Sebagai narasumber film ini, adegan yang dimainkan Congo tentu sangat nyata dan natural mengingat ia adalah subjek atau pelaku pembantaian PKI di Medan.
Sebenarnya film ini menceritakan tentang situasi pasca Gerakan 30 September 1965, dimana terjadi banyak pembunuhan masal terhadap sejumlah anggota PKI yang dilakukan oleh para pemuda di Medan, termasuk diantaranya adalah oleh anggota Pemuda Pancasila.
Film dokumenter ini menayangkan proses pembuatan film yang berjudul Arsan & Aminah. Dengan Congo yang dihadirkan memerankan seorang komunis, disiksa dengan berbagai macam cara (dari yang menjijikkan sampai yang tidak manusiawi) dan juga sebagai seorang algojo yang dingin.
Anwar Congo dalam filmnya yang berjudul Arsan & Aminah (Sumber: Google) |
Berikut sinopsisnya:
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
Jagal bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Anwar Congo sebagai komunis, salah satu adegan investigasi |
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Joshua Oppenheimer |
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu satu setengah tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia.
(source: http://id.wikipedia.org/wiki/Jagal)
Setelah film selesai, diadakan diskusi singkat mengenai kasus ini. Banyak hal menarik dan fakta-fakta yang dipaparkan seperti agama dijadikan propaganda sebagai jubah penutup alasan perang dan pembunuhan, PKI merupakan salah satu dari collateral damage -- korban sasaran pemerintah dan terdapat kekuatan antogonistik-- kekuatan pendominasian terhadap pihak yang direndahkan.
Dimulai pada tahun 1965, terdapat perubahan yang signifikan oleh negara-negara Amerika Latin dan negara-negara Islam seperti Turki, dimana terjadi perubahan budaya dan sistem tata negara yang mengadaptasi dari Barat secara berlebih.
Daniel Lerner dalam bukunya yang berjudul "The Passing of Traditional Society" berpendapat bahwa jika Anda ingin disebut modern dan memulai gaya hidup modern, tinggalkanlah identitas Anda.
Dan quote yang paling dahsyat selama penayangan film itu adalah:
"Saya percaya tidak semua kebenaran bisa dikonsumsi publik. Misalnya, menguak kembali fakta-fakta sejarah. Tuhan pun punya rahasia."
0 komentar:
Posting Komentar