Pages

Petualangan Autis #Part 1

Selasa, 07 Juli 2015
Setelah cuplikan perjalanan menjalani UAS:
Jreeeng!

Jreeng jreeng!

Jreeng jreeeng jreeng!

Hufffhness di perpus

Nova: Melepas stress dengan gaya baca buku tak biasa (baring di rak buku perpus)
Tadi malam, setelah chatt dengan Rahmat Gege, aku membaca karya Dee yang berjudul Supernova. Yah, karya itu menurutku luar biasa karena ia dapat menembus dimensi fiksi, karakter tokoh yang bagai dikendalikan oleh tokoh diluar sana yang tidak sadar bahwa mereka seakan-akan Sang Penciptanya.

Berhubung hari Jum'at adalah minggu tenang setelah minggu tegang, dengan scene rencana main ke UIN batal karena adikku mau datang ke kos, membawaku kakiku yang sudah lama tidak menjejak tanah (emangnya hantu) petualangan, gatal untuk melakukan sesuatu.


Yup, ini merupakan kebiasaanku sejak masih kecil (entah kebiasaan buruk atau baik).Ini kunamakan sebagai Petualangan Autis. Dalam hidupku, selalu ada fase dimana semua hal yang dulu benar-benar kuinginkan dan sudah ku-"masukan" ke dalam sebuah bag besar, ingin kutinggal sebentar karena bebannya terlalu berat. Maka aku akan cari penitipan atau meletakkannya ditempat aman yang pasti tidak akan hilang diambil orang. Dan saat itu akan nggak akan menghubungi siapa-siapa, handphone ku-silent. Yang ada cuman aku, ransel, kamera dan buku agenda.

Dalam menjalani sekolah dan kuliah, aku selalu menstruktur apa yang harus kulakukan sehingga terorganisir, jadi aku butuh agenda. Tapi dalam petualangan autisme kali ini, aku berusaha keluar dari cangkangku. Berjalan tanpa rencana yang jelas. Ini kulakukan sejak aku SD. Ketika masih tinggal di Tenggarong-Kaltim dengan nenek, kadang aku suka jalan-jalan sendirian entah kemana, tanpa kabar dan tiba-tiba sudah ada di rumah. Prinsipnya tanpa merencanakan, membiarkan Tuhan dengan jaring laba-laba-Nya menggerakkan pikiran dan tubuh kita menuju suatu tempat yang baru saja didepan mata ditemui.

Maka dengan pasti aku menuju stasiun, naik kereta tujuan Jakarta Kota. Selama menunggu kereta, aku santai melanjutkan membaca Supernova. Disampingku ada seorang ibu-ibu yang sepertinya baru dilingkungan itu. Dia bertanya:
" Mau ke stasiun Jatinegara naik yang mana ya neng?"
" Oh, ibu tinggal naik yang ke arah Tanah Abang atau Jakarta Kota, terus turunnya di Manggarai. Dari Manggarai bisa ke Jatinegara".
" Oh, gitu. Makasih ya neng"
" Iya, bu".
" Mau turun distasiun mana?"
(bingung mau jawab apa)
" Kayaknya ke Jakarta Kota bu", jawabku asal sambil senyam-senyum.

Sebenarnya otakku melawan semua ini. Aku mulai menyusun rencana, tapi langsung kulibas lagi. Turun dimana kau ingin turun. Berhenti dimana hal itu baru dan menarik bagimu. Masuki hal yang belum terlintas dibayanganmu ketika masuk kedalam kereta nanti.

Maka aku membaca dan terus membaca didalam kereta, walaupun berdiri. Dan sekitar 20 menit kemudian, aku menoleh ke jendela. Stasiun berwarna hijau. Gambir. Ya, aku mau turun disini. 

Aku berjalan kaki menyusuri pinggir-pinggir komplek Monas. Dari ujung ke ujung, belakang sampai kedepan. Mengamati, apakah ada hal menarik didalam sana. Kulihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada sesuatu yang istimewa. Kulihat ada banyak polisi berjaga-jaga disanasambil membangun tenda mereka makan bergerombol. Mungkin nanti akan ada demo disini, jadi mereka sudah siaga ditempat. Kulihat ada segerombolan orang bermotor memakai baju koko putih-putih membawa bendera besar (nggak pakai helm lagi!)
Ah, tahukah kalian bahwa dunia ini begitu kompleks. Ada si brengsek yang mengatur kalian untuk salah persepsi akan hirarkisme dalam jabatan yang biasa kalian idamkan.Aku terus berjalan sampai melewati 2 buah halte transjakarta. Aku masih belum tertarik untuk menaiki satu angkutan pun. Maka aku jalan dan terus berjalan, sampai menemukan ini;

Itu istana negara kan ya? Atau bukan? Haha, ga tau deh. Yang jelas aku jalan terus masih menelusuri pinggiran komplek Monas. Dihutan kecil komplek Monas itu terdapat banyak sekali pemulung yang mencari pulungan disana. Ada yang mengais-ngais, ada yang sedang memisahkan botol plastik bekas dengan gelas plastik bekas, ada yang sedang tidur lelap dibawah pohon, ada juga yang sedang melamun. Pikiranku langsung loncat akan suatu ingatan, disebuah kelas, salah seorang temanku berpendapat, " Gua bukannya ga memihak rakyat kecil ya. Tapi menurut gua, orang-orang tunawisma kayagitu emang harus digusur mi. Kalau engga mereka manja".

Sekali lagi aku hanya mendesah nafas mengingat kata-kata temanku itu. Tak taukah kau, Kawan. Mereka itu juga sama seperti kita, hanya saja kurang beruntung. Mereka juga sedang berusaha untuk bertahan hidup ditengah para brengsek yang sedang main catur diatas sana. Kupikir, kau sudah tertular virus kapitalisme stadium 2. Hati-hati ketika jadi pejabat nanti. Kuracun kau jika nuranimu luntur.Aku terus berjalan, sampai entah dimana. Jalan saja terus, mi. Tidak usah takut, kata suara hatiku.

0 komentar:

Posting Komentar