Pages

Petualangan Autis: Langkah

Selasa, 07 Juli 2015
Langkah, kubawa kau berjalan menuju sebuah tempat ya~
Tempat yang masih anonim, tempat dimana aku buta akan latar depannya juga latar belakangnya.
Aku tidak tau kepastiannya; apa, kenapa, dan bagaimana.
Hal yang kuketahui hanya satu, dengan siapa.
Yaitu aku,bayanganku serta langkahku.
Jadi kau bergeraklah terus, jangan berhenti.
Aku akan menuntunmu hingga akhir hayatku.


Selama perhelatan reuni Pondok Pabelan hari itu, aku mengikuti separuh saja dari rangkaiannya, seperti pembahasan Manajemen Politik dan Pendidikan Pesantren oleh Pak Masduki, Ketua Sekjen Komnas HAM Indonesia. Banyak pengetahuan yang baru kudapat seperti karakter lembaga pendidikan pesantren pada masa zaman kolonial, penggerak Perang Paderi adalah santri dan tentang Nurcholish Madjid yang sempat “termarjinal-kan” ketika dia nyantri di Pondok NU karena ayahnya Masyumi. Selebihnya, seperti acara nostalgia antar alumni tidk kuikuti.

Pasalnya hatiku tergerak untuk melakukan sebuah perjalanan. Karena aku percaya bahwa Kampung Pabelan bukan kampung yang “polos”. Pasti ada sesuatu!

Setelah bercengkerama dengan mbok penjual jajan di pondok (mereka sudah 30 tahun jualan disana, bahkan ada yang jualan sejak masih umur 10 tahun~klasik banget!), aku berjalan menuju luar komplek pondok.

Tengok kanan, tengok kiri. Aku bingung mau ke arah mana. Dan Tuan Merbabu dengan gagahnya mencuri perhatian. Aku akan berjalan menuju kau, gagah! Utara, wo qu ne!

Aku berjalan memasuki perkampungan, tanpa informasi, tanpa peta dan tanpa tujuan. Setelah bertanya dengan seorang ibu-ibu yang sedang memberi makan anaknya, aku mendapat informasi mengejutkan.

“Bu, kalau jalan terus kesana ada apa ya?”, tanyaku. Sebenarnya ini pertanyaan ambigu yang membuat orang bisa mengerutkan kening ketika mendengarkannya.
“ Lha, emang mba’e mau kemana?”, jawabnya bingung.
“Nggak kemana-mana bu. Saya lagi jalan-jalan aja, mau cari tau disekitar sini ada apa aja”, jawabku sambil senyum.
“Oalah. Ya kalau terus iku ada perempatan. Kalau mbelok kiri menuju Jogja, kalau mbelok kanan ada Borobudur”.
“Hah!? Borobudur? Jadi disini dekat sama Candi Borobudur?!”, tanyaku bersemangat menahan loncat.
“Iya, mba. Mbelok kanan, jalan terus sampai jalan raya. Nanti ada bus sama angkot, naik iku aja mba”.
“Kira-kira berapa kilometer nggih bu?”.
“4 kilo-an lah”.

Ternyata dunia dengan segala letaknya dapat menyambungkan memori lama. Tujuanku ke Borobudur untuk bernostalgia akan final exam BEC. Walaupun aku tidak bisa bertemu dengan Mr. Kalend, setidaknya aku dapat membuka kenangan lama dengan menuju tempat kebersamaan antara student dan Mr. Kalend pada periodeku dulu.

Saat itu sudah jam 03.00 sore. Aku berjalan kaki menyusuri sawah, tambak, kali yang bersih dan rumah makan wisata.

Ketika terus berjalan menuju arah utara, rasanya Merbabu semakin dekat. Seperti tergapai dalam penglihatan yang jauh ini. Aku sampai menyipitkan mata ingin tau ada apa disana. Ingin aku kesana suatu hari dalam hidupku. Bersama teman-teman atau bersama dengan keluarga yang sudah kubina dengan pasangan hidupku kelak apaan sih gua.

Bagiku pendekatan bahasa sangat efektif untuk mencapai sebuah tujuan. Aku paham bahasa Jawa, bisa memakainya sedikit tapi bukan yang kromo inggil. Bekalku hanya bahasa ala Jawa Timur yang non-formal (ditulari oleh arek Suroboyo dan Malang). Sedangkan aku buta sama sekali akan style ala Jawa Tengah, terlebih kromonya. Maka kuhubungi seorang mantan santri yang pastinya bisa bahasa Jawa formal-halus itu sebut saja Bunga hehe, maaf ya ge :p.

Berbekal kata, “Permisi, kulo bade panglet. Borobudur pun pundhi?”, aku mendapat arah jalan yang benar. Walaupun akhirnya aku harus mengulangnya dalam bahasa Indonesia karena aksenku yang aneh dan kaku. Setelah bertanya memakai boso Jowo, biasanya balik ditanya asalnya darimana. Pun ketika ditawari tumpangan, sang penawar menghentikan motornya dan bertanya “Mau kemana tho mba? Tak anter ae”.

Kira-kira setelah berjalan sampai pukul 05.15 lebih, aku merasa harus menggunakan cara lain agar bisa sampai sebelum maghrib. Semoga saja masih keburu bisa masuk ke dalam candi, pikirku. Aku berdiri di pinggir jalan menunggu bus. Sebelumnya beberapa kali kulihat mini bus dengan tempelan sticker Jogja-Borobudur/Borobudur-Klaten. Tapi busa yang kuharap tak kunjung lewat.

Akhirnya aku menggunakan cara pasaran ala backpacker, lifting hand. Ada 2 mobil bak yang menolak, tapi akhirnya ada satu yang mau berhenti. Aku langsung berlari menuju mobil bak biru itu. setelah menyampaikan tujuan, pak pengemudi mempersilahkan aku naik.

Dia juga kebetulan mau menjemput buruh pabrik di dekat Borobudur. Pekerjaannya sebagai sopir mobil bak dan orang asli Borobudur. Kami mengobrol tentang minyak dan batu bara. Lalu beliau menerangkan tentang Candi sekitar wilayah Magelang. Beliau juga bercerita bahwa pernah kerja di Malaysia 10 tahun sebagai buruh kelapa sawit. Dan setelah bertanya-tanya tentang diriku yang berjala sendirian, beliau menasehatiku.

“Jangan jalan sendirian disini mba kalau sore-sore. Nek kalau siang ya ga popo, tapi kalau sore mau maghrib gini yo bahaya perempuan kaya mba jalan sendirian. Nanti kalau ketemu anak-anak muda mabuk ya bahaya mba. Apalagi yang suka sok nawarin tumpangan motor mba. Bahaya. Biasanya yang kayagitu itu punya maksud jahat mba. Banyak kejadian pelecehan karena nrimo tawaran tumpangan kayak gitu itu mba. Hati-hati lho mba!”, ujar bapak itu. Aku hanya mengangguk dan sesekali menyeletuk “Nggih pak”.

Tidak sampai 10 menit, mobil melewati Lumayan Inn (tempat para BEC sudent meletakan barang dan membersihkan diri~melihatnya rasanya aku mau loncat dari mobil karena ingat kenangan bersama teman-teman BEC), pasar Muntilan yang ada ikon baterai ABC raksasanya, lalu berhenti disebuah gudang besar. “Borobudur tinggal belok mba ya. Jalan kaki sedikit”, kata bapak itu. Aku mengucapkan banyak terimakasih dan berjalan menuju arahannya tadi.

Benar! Komplek Borobudur sudah didepan mata. Maka dengan tergesa, aku menuju arah loket. Tutup. Ternyata sudah tutup sejak jam 5 sore tadi. Yah, pupus sudah menaiki tangga Candi Borobudur yang ekstrim itu. Yang bisa kulakukan hanya memfotonya dari luar pagar.
Setelah ke wc, aku bertemu foreigner yang juga telat masuk. Aku mengobrol sebentar dan kami sama-sama mengeluh ingin sekali masuk. Lalu ia masuk ke toilet duluan, lalu aku. Obrolan pun selesai.

Setelah berjalan-jalan di pasar, aku tiba-tiba ditelpon Yang Mulia Abah. Untungnya beliau tidak terlalu marah, hanya mengomel sedikit bahwa penyakitku kuat kalau di tempat baru, suka hilang tanpa kabar. Aku disuruh pulang sebelum maghrib (padahal adzan sekitar 3 menit lagi berkumandang). Akhirnya setelah menawar ojek (dengan bahasa Jawa ala Surabaya~bodo amat, sing penting boso Jowo), aku sampai Pondok Pabelan tepat ketika santri sedang berdzikir di mesjid.

Baru sampai kamar untuk tamu perempuan, aku didapati oleh Tante Dewi, senior Abah yang duduk disebelahku ketika di bus kemarin. “Umi, kemana aja sayang? Kamu kok sukanya ngilang ga pakai kabar ya. Tadi pagi juga begitu”. Aku cuman bisa cengar-cengir.

Tau-tau pintu kamar dibuka, ada Tante Yuni. Beliau sudah kukenal sejak tahun lalu karena pernah main ke rumahnya. Dia seorang Ketua Komnas HAM Indonesia, wanita moderat spesialis sosiologi perempuan dan salah satu alumni yang tidak pakai jilbab disana. Tante Yuni langsung mengajakku ikut ke kamar santriwati. Aku tidak mungkin menolak. Tante Yuni sangat baik padaku.

Di kamar santriwati, Tante Yuni bercerita tentang pengalamannya sejak dari pondok, jadi ustadzah 1 tahun, kuliah di IAIN Jakarta, S-2 dan S-3 diluar negeri. Santriwati mendengarkannya dengan antusias. Sesekali dari mulut mereka melafadzkan nama Allah karena kagum dan terkesan dengan cerita Tante Yuni. Wajah mereka polos dan menyiratkan keinginan besar untuk menjadi seperti alumninya itu. Aku lihat ada banyak bintik berani bermimpi di mata mereka. Hawa positif Tante Yuni menurutku membangkitkan semangat siapa saja yang berada di dekatnya. Aku pun dibuat takjub olehnya. Setelah pengalaman, dia juga berbagi tentang tips memilih pasangan hidup.

“Pilihlah suami yang tidak mematikan potensi kalian sebagai wanita. Mempersilahkan kita ketika ingin lebih mengeksplor diri dalam masyarakat. Menikah bukan berarti memutus passion kita dalam berkarir. Intinya saling berbagi, terbuka, mengisi dan mengerti satu sama lain”. Aku langsung melihat pipi-pipi santriwati menjadi kemerahan. Aduh, lucu sekali mereka!, batinku. Lalu “penyuluhan para calon ibu” itu pun berakhir dengan tepuk tangan meriah. Bahkan ada yang menangis terharu. Pokoknya gegap gempita deh para santriwatinya! Salut.

16-17 Juni 2012; banyak pelajaran yang kudapat.
Hematku bukan takdir yang mendatangi kita. Tapi kitalah yang bergerak menggunakan langkah menggapai takdir. Syaloom!

_____________________________________
Welcome to Ponpes Pabelan

Mari menuruni tanjakan!

Rumah Limas

"Dulu disini Abah suka latihan teater jadi orang gila", kata Abah bangga. Percaya deh bah~

Krik krik krik


Ruang makan

Sekret OPM (Osis-nya Pabelan)



Santri

Santriwati; polos dan menggemaskan dibalut dengan sikap dewasa

Pak Masduki, Manajemen Politik dan Sitem Pendidikan Pesantren

Kenangan itu walaupun rambut telah memutih takan pudar; siluet bertemu kawan lama
Petualangan Autis dimulai
Kompasku adalah Si Gagah Merbabu
Kupikir ini Bali, ternyata Rumah Makan!

Namanya Ngrajek

Lengang, tenang

Tambak, bingkai keberlangsungan hidup warga Ngrajek

Istirahat sejenak di pinggir jalan

Comberannya jernih ya ^_^

After lifting hand, dalam mobil. Matur nuwun nggeh pak!

Benar! Ini kawasan Borobudur

Sayang sekali pemirsa. Sampun tutup cak!

Hanya dari luar

Bersama santriwati. Menyenangkan!

Berpacu dalam melodi; para alumni mengenang kebersamaan.



Santri kalau heboh dangdut seru juga ^0^

Asyik, angkat tangan ke atas. Goyang! *berasa bukan di pesantren

Paginya, senam satri *aku udah lupa gerakannya

Kerudung ala anak pesantren

Surip (Enda), MS 49. Gini-gini dia perempuan lho!

Tongkat ibu peri *tumbas setunggal nggeh pak~

Bayangan dalam langkah


Tua = Klasik

"Jangan berdoa agar hidup ini menjadi ringan, tapi berdoalah agar kau jadi orang yang tahan banting".

Vintage, seperti zaman kolonial

Lihatlah kebaikan seseorang~

Dia bilang," Saya juga bagian dari sivitas akademika Pabelan lho".

Big motivation for santri and santriwati

Wudhu-nya gimana ya?

Setiap fasilitas ditempeli ini. Milik umat~

Tak sengaja menemukan sebuah buku tulis yang ternyata catatan harian santri. *Maaf tak bermaksud membaca, tak sengaja terbaca~

Jangan hanya dinginkan kepala, dinginkan juga kakimu!

0 komentar:

Posting Komentar