Pages

Pondok Pabelan, Sebuah Kenangan Klasik

Selasa, 07 Juli 2015
Great! Cuman itu yang bisa kukatakan ketika bus menurunkan kami di pinggir jalan wilayah Pabelan, Magelang. Pasalnya disamping udara Magelang yang luar biasa sejuk (Puncak lewat deh), aku rasanya mau meloncat ketika melihat Gunung Merbabu menjulang tinggi dibalik jalan kecil bertuliskan "Pondok Pabelan, 1 KM".

Hari Jumat sore, aku ikut rombongan alumni Pondok Pabelan naik bus tujuan Magelang. Setelah bersua dengan Gege, aku ditemani menuju Terminal Lebak Bulus, tempat janji berkumpul. Bulan ini, akan ada reuni akbar yang digelar setiap akhir semester genap di Pondok Pabelan.

Aku masih melihat keakraban yang dijalin para alumni di dalam bus itu. Walaupun mereka berbeda angkatan, tapi aku banyak melihat kesamaan dalam pemikiran, visi dan cara bertutur. Mungkin karena dididik menjadi public figure dengan cetakan yang sama, yaitu Pondok Pabelan.

Tentu saja menghirup udara sejuk menjadi sangat mahal bagi seseorang yang menetap di daerah bilangan Jakarta dan sekitar, jadi apalah artinya berjalan 1 km (sama sekali nggak rugi). Dengan semangat aku berjalan mendahului rombongan, menjadi yang paling depan sok tau banget ya :p . Mencari apa yang menarik. Sebenarnya hal baru dan hal yang pernah diceritakan tapi aku belum pernah melihat dengan mata kepalaku merupakan deja vu tersendiri.

"Monggo, mba", sapa seorang ibu-ibu sambil tersenyum ramah. Aku membalas mengangguk sambil tersenyum lebar. Aku hampir lupa bahwa aku sekarang berada di tengah masyarakat Jawa, dengan budaya unggah-ungguh-nya yang khas. Ada "peringatan budaya" yang langsung kutangkap ketika menginjakkan kaki di jalan menuju Pondok ini. Jadilah aku mulai mengumbar senyum kepada warga sekitar. Mereka ramah :)
Apa mungkin karena udara yang sejuk membuat hati orang tenang ya?

Dan ketika sampai di Pondok, kesanku pertamaku adalah sederhana. Bangunannya tidak banyak cincong, biasa dan multifungsi. Setiap gedung diberi nama yang berbeda; Jepang 1, Bupati, Presiden, Gubernur, Ahmad Yasin, America dan banyak nama lagi.  Ternyata maksudnya, pembiaya gedung itu adalah nama dari gedung itu sendiri. Misalnya Gedung Presiden, maka yang membiayai adalah Presiden pada waktu itu.

Santriwati disini ramah beda banget sama pesantren adikku. Aku agak kagok dengan perlakuan hormat mereka. Tapi ramah mereka adalah ramah yang tidak dibuat-buat. Terlihat benar bahwa mereka bersungguh-sungguh dalam melayani para tamu.

Hei, mungkin udah dulu ya. Aliran listrik disini sangat jauh dari tempat penginapan. Aku harus berjalan menuju sebuah kelas yang seperti bangunan Belanda untuk men-charge handphone. Dan sepertinya aku tadi mendengar ada memanggil namaku. Mungkin Abah atau temannya. Aku baru sadar kalau penyakit petualang autis-ku bisa kambuh kapan saja. Juga kebiasaan menghilang tidak baik untuk kesehatan, apalagi ditempat baru. But, you know what? I feel great!

*nanti upload foto menyusul


0 komentar:

Posting Komentar