Pages

Putu Wijaya, Tiba-Tiba Malam #Review Buku

Selasa, 07 Juli 2015
Fine, liburan kali ini sambil menunggu momen pernikahan kakak sepupu sebelum mudik ke Banjarbaru, kuhabiskan dengan kegiatan jalan-jalan tak tentu arah, gunting kertas sana-sini, merapikan rak buku, melipat semua isi lemari baju, menulis blog, virtual koevolusi, berburu seminar, bersemedi di perpustakaan dan tentu saja membaca buku. Membaca buku. Ya ya membaca buku.

Hari Jumat kemarin kupinjam 5 novel dari perpustakaan. Salah satunya karya Putu Wijaya~ Novel yang tak sengaja kutemukan di antara himpitan novel-novel yang tua dan bau apek. Sebelumnya aku sudah pernah mendengar nama Putu Wijaya lewat karyanya yang berjudul Telegram. Nah yang berada di tanganku sekarang berjudul Tiba-Tiba Malam.
Penulis: Putu Wijaya
Judul: Tiba-Tiba Malam
Tebal: 235 halaman
Penerbit: KOMPAS (Jakarta, Januari 2005)

Novel ini mengambil tema kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali pedesaan yang sangat memegang erat peraturan adat yang begitu ketat dan dalam sudut pandang tertentu, justru dianggap merugikan.

Diawali dengan latar suasana hingar bingar acara pernikahan Sunatha dan Utari, si Kembang Desa. Terdapat kasak-kusuk pemuda desa yang iri terhadap keberhasilan Sunatha menggaet si kembang desa tersebut dan perasaan sakit hati seorang pemuda kaya berwibawa yang bernama Ngurah, yang mencintai Utari sejak lama dengan mengumpulkan kekayaannya untuk meminang Utari kelak.

Pada saat yang sama seorang turis bernama David mulai mencampuri kehidupan desa dengan mendekati Subali, ayah Sunatha. Mengajaknya berdiskusi dan berpikir tentang kelemahan peraturan adat desa yang baginya merugikan.

Konflik pun memasuki beranda ketika Sunatha tidak menyentuh Utari sama sekali pada saat malam pertama karena keesokan harinya ia harus berangkat ke Kupang untuk mengajar disana dalam jangka waktu yang sangat lama. Dan tepat saat Sunatha pergi, Utari langsung mengamuk dan mengaku kena pelet oleh Sunatha. Ia bersikeras tidak mau tinggal di rumah mertuanya.

Ngurah pun mengambil kesempatan mendekati Utari dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga Utari. Di sisi lain, ibu Sunatha terguncang akibat perlakuan menantunya yang menentang adat itu. Ia jatuh sakit. David terus melancarkan propaganda akan kelemahan peraturan adat yang baginya tidak menghargai hak individu kepada Subali yang sudah mulai dilemma dan mulai menuruti perkataan David untuk melanggar aturan adat dengan tidak pernah ikut rapat.
Sementara di Kupang, Sunatha menutupi kesedihannya dengan membanggakan malam pertama yang sebenarnya tidak pernah terjadi kepada sahabatnya, Badung.

Konflik demi konflik pun muncul dengan diusirnya Subali dari krama desa, yang mengakibatkan mereka dikucilkan dan tidak dianggap ada. Hal itu membuat Sunithi, adik Sunatha sadar bahwa ia harus mengemban tanggung jawab di rumah, mengingat Subali_setelah plesir ke Denpasar bersama David menjadi seperti orang sinting;  tidak mau bicara, hanya melamun dan seperti orang gila. Lengkap lagi permasalahan ketika David tiba-tiba menghilang begitu saja meninggalkan Subali yang dikucilkan orang-orang desa. Ibu Sunithi sekarat dengan sakitnya dan tidak dapat berobat terbentur masalah biaya.
Utari pun merasakan gelegak cinta nafsunya kepada Ngurah yang perhatian. Ia menjadi lebih agresif dengan selalu memulai duluan. Dan dapat ditebak konflik apa yang akan terjadi.
 
Nah, kebayang kan gimana perasaan Sunatha kalau tau semua ini ketika pulang kampung? Makanya baca sendiri :p
#ketawa setan

________________________________________________

Bagiku Putu Wijaya berhasil menyadarkan pembaca bahwa terdapat nilai-nilai yang merugikan dalam pengaplikasian adat yang telah dipegang erat selama ratusan tahun. Dibuktikan dengan dilemma yang dialami oleh Subali yang seakan terkejut melihat dunia luar ketika berada di Denpasar bersama David. Juga kadang hukum adat yang bertujuan mengangkat azas gotong royong bermasyarakat digambarkan oleh Putu Wijaya dengan dua sisi; rasa solidaritas & kepemilikan akan desa dan ke-tidakproduktifannya di masa ekonomi global seperti sekarang.

Bagiku tokoh Sunatha sangat naif; satu sisi ia sangat marah dan geram atas perlakuan penduduk desa terhadap keluarganya dan berpendapat bahwa peraturan adat tidaklah relevan lagi zaman sekarang, satu sisi ia ingin terlihat sebagai pahlawan yang mau menerima kaburnya Utari dengan Ngurah.

Aku suka tokoh Sunithi, gambaran tentang wanita Indonesia yang bertangan besi. Ia kuat, bekerja dan memanen di sawah tanpa bantuan seorangpun apalagi laki-laki, walaupun ada tokoh Weda dan Suki yang menaruh harapan. Sayangnya sikapnya tidak dapat berkolaborasi dengan peraturan adat yang mengharuskan perwakilan seorang pria dalam rumah tangga. Jadilah ia seperti tidak dapat berbuat apa-apa karena di desa, laki-laki merupakan kepala rumah tangga.

Dan mengenal tokoh Utari, ini seperti merupakan bukti bahwa cantik wajahnya, belum tentu pula cantik sifatnya. Tapi di satu sisi, bagiku Utari tidak 100% salah~ Mungkin karena masih terlalu muda dan langsung ditinggal pergi tanpa kesan malam pertama sehingga ia berani berbuat serong dengan Ngurah.

Aku sempat terkejut ketika di akhir cerita, puncak konflik datang ketika mayat ibu Sunatha yang sudah dikuburkan sebelumnya di tanah, dikembalikan lagi dalam keadaan busuk di pekarangan rumah oleh warga desa. Bagi mereka karena Subali sudah dikeluarkan oleh desa, maka tidak berhak lagi untuk menggunakan milik desa, termasuk tanah kuburan. Kupikir mengerikan betul jika itu terjadi kepada keluarga kita.

Kombinasi antara peraturan adat, hukuman sosial, uang, darah muda, modernisasi dan cinta. Hmm, mungkin karena itulah novel ini meninggalkan kesan di benakku.

Syaloom ;)




0 komentar:

Posting Komentar