Pages

Deddy Mizwar: “ Saya Belum Pernah Hadir di Majelis Setan” #Kutipan Tokoh

Selasa, 07 Juli 2015
Eddie Karsito, dalam karyanya “Menjadi Bintang”, pada kolom Sosok dan Pandangan;

Deddy Mizwar: “ Saya Belum Pernah Hadir di Majelis Setan”.

Sinema dewasa ini, berkembang bak pedang bermata dua. Di satu sisi diterima sebagai pembawa pesan kemanusiaan, tapi di sisi lain bisa menjadi sumber amoralisasi.

Namun demikian apapun pandangan kita, film telah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Menjadi kebudayaan manusia. Tak ada cara yang lebih bijak untuk menerima atau menolaknya, kecuali memahami dunia tersebut sesuai dengan fakta sinematografi, penalaran, sikap dan keyakinan kita masing-masing.

Dalam konteks industri hiburan, film mendapat ruang yang luas sebagai hiburan massa. Karena sifatnya yang menghibur sudah barang tentu film dibuat sedemikian rupa; lebih ringan dan bersifat rekreasi belaka. Maka jangan heran jika kemudian film-film yang dilahirkan tidak lagi bicara mutu. Apalagi membawa pesan moral.
Saya mencoba merekonstruksi kenyataan-kenyataan empiris. Dari hal-hal yang selama ini dianggap wajar, tetapi sebenarnya ‘penyakit sosial’. Lalu bagaimana kta merealisasikan kesadaran bersama sebagai makhluk kebudayaan. Saya juga menyadari bahwa setiap manusia hidup mencari Tuhan. Waktu saya muda dulu, Tuhan saya adalah sebuah impian; tentag popularitas, impian kekayaan dan impian tentang hidup glamour. Tapi semua itu ternyata tidak membuat saya bahagia.

Apa yang saya lakukan saat ini belum seberapa untuk menebus apa yang saya kerjakan di masa lalu. Dan salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada saya itu adalah pengetahuan tentang seni peran ini. Tentang bagaimana membuat film.

Walaupun memproduksi dan terlibat dalam beberapa karangan bertema religius, Deddy jarang sekali mengobral ayat-ayat Tuhan. Apalagi menggurui dan mendakwahi. Deddy tetap menempatkan Sang Mahakarya sebagai bagian dari ideooginya dalam berkaca dengan konsep rahmatan lil’alamin.
 Banyak sinetron-sinetron yag katanya religius tapi sebenarnya bukan. Sinetron tersebut sebenarnya hanya pengembangan dari sinetron bertema mistis, yang ditambah dengan penampilan ustadz yang membacakan ayat-ayat. Tapi substansinya tetap sinetron mistis.

Tema-tema tersebut belum bergeser secara signifikan. Sinetron kita baru bergeser dari tema mistis ditambah dengan bumbu-bubu religius. Saya kira perlu kreatifitas dan penggalian lebih dalam lagi. Agama itu untuk mengatur kehidupan manusia di dunia sampai akhirat dan menjadi rahmatan lil’alamin. Ada unsur mistis dalam agama, tapi agama kan tidak melulu mistis.

Tayangan mistis dengan bumbu agama tersebut di satu sisi menenangkan, tapi di sisi lain membahayakan bagi pemaknaan aqidah umat Islam. Bicara moralitas memang tak disangkal, namun film-film tersebut lebih banyak mengeksploitasi soal tahayul, setan dan sebagainya.

Bagaimana kita dapat menjelaskan yang gaib dalam waktu 2 menit? Yang nyata saja kadang saya nggak tau, gimana yag gaib. Kalau saya bicara hal-hal yang gaib, yang gaib hanya Allah yang tahu. Saya belum pernah hadir di majelis setan, jadi nggak bisa bicara setan.

Tentang muatan cerita film atau sinetron yang kini diproduksi, biar masyarakat yang menilai. Saya tidak bisa memaksa orang. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu yang saya yakini. Bukan saya lebih pandai. Terkadang saya pun diingatkan oleh pemirsa, kru dan pemain. Bahkan oleh lawan main saya yang masih anak-anak. Saya diingatkan untuk melakukan sesuatu yang baik.

0 komentar:

Posting Komentar