Pages

Perempuan Dalam Masyarakat Cina Tradisional

Selasa, 07 Juli 2015
Sejak jaman dinasti Han, banyak bermunculan filsuf-filsuf besar yang menciptakan ajaran kehidupan. Cina dalam kronologi historisnya memiliki 3 aliran terkenal yang sangat berpengaruh pada kehidupan para penganut-penganutnya, yaitu:
  1. Konfusianisme: Yang lebih menekankan ajaran hubungan antara manusia dengan manusia.
  2. Taoisme: Yang lebih menekankan ajaran hubungan antara manusia dengan alam.
  3. Budhisme: Yang lebih menekan ajaran manusia dengan "Sang Pencipta/Yang Di Atas".
Dan mayoritas masyarakat Cina adalah penganut Konfusianis yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Kitab Wu Lun (论) atau 5 hubungan sosial menyebutkan:
  • Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan
  • Hubungan antara Suami dan Isteri
  • Hubungan antara Orang tua dan anak
  • Hubungan antara Kakak dan Adik
  • Hubungan antara Kawan dan Sahabat
Terlihat jelas bahwa terdapat sistem hirarkis yang sangat dipegang teguh dalam ajaran ini. Antara yang tua dengan yang muda. Antara yang merasa tinggi dan yang rendah. Antara yang unggul dan yang payah.

Dan jika dilihat kembali 5 Hubungan Sosial di atas, bisa dilihat porsi peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat Cina. Perempuan hanya muncul pada hubungan suami dan istri saja, selebihnya hubungan antar pria dengan pria. Dan pada masyarakat Cina tradisional, perempuan selalu dibawah pria. Dan faktanya memang dalam sistem sosial masyarakat Cina tradisional, pria merupakan posisi yang utama.


Dalam kitab Zheng Ming, disebutkan bahwa hendaknya manusia dalam hidup ini bersikap sesuai dengan statusnya. Tidak boleh menyimpang dan jika terjadi pelanggaran akan sikap itu maka keharmonisan akan terganggu. Dan dalam kitab ini tentu saja menegaskan status antara perempuan dan laki-laki, berikut dengan tugasnya masng-masing.

Agar dapat bersikap sesuai status, perempuan Cina tradisional wajib memiliki 4 Kebajikan/Si De (德), yaitu:
  1. De (德): Wanita harus tahu dan dapat menempatkan diri.
  2. Yan (言): Wanita tidak diperkenankan banyak bicara dan punya banyak keinginan.
  3. Rong (容): Wanita harus berkelakuan baik da bersifat menerima.
  4. Gong (工): Wanita harus rajin dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dan terdapat 3 Kepatuhan/San Cong (), yaitu:
  1. Gu Wei Jia Cong Fu: Perempuan yang belum menikah harus tunduk pada orangtua.
  2. Ji Jia Cong Fu: Perempuan yang sudah menikah harus tunduk pada suaminya.
  3. Fu Si Cong Zi: Saat suaminya meninggal kelak, perempuan wajib tunduk pada anak laki-lakinya.  
Si De dan San Cong, hematku sangat memungkinkan untuk para pria melihat celah emas dalam bersikap terhadap kaum perempuan sehingga tampak lebih superior dan maha segala-galanya dibandingkan posisi perempuan yang dipaksa untuk lebih rendah dan tidak unggul dikalangan para kaum pria Cina tradisional.

Dan setelah Si De dan San Cong, terdapat pula tradisi footbinding/jin lian (连). Footbinding yang juga disebut teratai emas, yaitu kebiasaan membungkus dan mengikat kaki dikalangan perempuan tradisional yang dilakukan sejak kecil dengan cara-cara dan tujuan tertentu pula.

Footbinding ini mulai berkembang sejak jaman dinasti Tang (Tang Selatan) pada awal abad ke-10 SM. Menariknya footbinding mulai booming karena kebiasaan seorang permaisuri yang hidup pada masa dinasti Shang, abad ke-12 SM, untuk menutupi kelainan kakinya dengan cara mengikat erat kakinya dengan pita-pita agar tampak indah. Akhirnya kebiasaan ini diikuti oleh perempuan-perempuan yang berkaki normal agar membuatnya lebih kecil seperti permaisuri tersebut.

Dalam tradisi footbinding, semakin kecil kaki perempuan itu maka semakin lebih dihargai dan dikagumi oleh masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengikat kakinya. Menurut Lin Yutang, seorang budayawan Cina, tradisi ini merupakan bagian dari masyarakat patriakal Cina yang dimaksud agar para wanita mematuhi nilai-nilai moral tentang pemisahan status tersebut. 

Selain itu juga terdapat konsep Yin-Yang.

Yin (阴), memiliki ciri-ciri tertutup, tak diketahui, selalu di belakang Yang, mewakili segala hal yang bersifat mundur, pasif, gelap, bumi, bulan, malam, perempuan, air, gelap, lemah, susah dan negatif.
Sedangkan Yang (阳) berciri-ciri terbuka, selalu di depan Yin, mewakili yang aktif, terang, langit, siang, matahari, pria, api, aksi, kuat, gembira dan positif.

Yin-Yang bersifat berlawanan, bergantian, saling melengkapi sehingga terjadi keharmonisan. Ada sebuah pernyataan umum dalam masyarakat Cina tradisional: “Hakikat Yin adalah melengkapi Yang persis seperti istri yang melengkapi suami. Tak ada ciptaan tanpa kedua prinsip itu, selalu ada Yin dan Yang di dalamnya.”

Hematku dalam sudut pandang konsep Yin-Yang, kedudukan perempuan di satu sisi seperti sangat rendah dan dinilai hina, tapi di sisi lain sebagai satu-satunya pelengkap seorang pria di dunia ini. Kehadirannya tak lebih sebagai pembuktian eksistensi keberadaan, kehebatan dan keunggulan seorang Yang. Dan pembuktian tersebut yang semakin merendahkan kaum perempuan dengan eksistensi Yang terhadap Yin.

Jadi bagi kaum Cina tradisional, figur perempuan yang baik seperti Yin selalu didamba para pria disamping menguasai San Cong dan Si De. Hal ini membuat perempuan tidak berdaya karena dikekang oleh norma dan tradisi yang menekan potensinya untuk berkembang.

Dan karena masyarakat Cina tradisional menganut sistem patriakal, melahirkan seorang anak laki-laki menjadi sebuah kewajiban bagi seorang perempuan jika ingin dianggap baik. Hal ini terbukti dalam karakter hao (baik), yang terdiri dari nu 女(perempuan) dan zi (anak laki-laki). 
Dari kiri, terlihat karakter seorang ibu yang sedang menggendong anak laki-laki. Hanzi mengalami revisi menjadi lebih simple hingga bentuknya menjadi seperti sekarang.
Intinya perempuan yang baik adalah yang melahirkan anak laki-laki. Semakin banyak anak laki-laki semakin baik. Dan hanya dengan melahirkan anak laki-laki, seorang menantu pantas untuk dipuji oleh mertuanya. Akan tetapi jika perempuan itu tidak dapat melahirkan anak laki-laki yang diharapkan menjadi penerus marga, maka sang suami berhak mencari wanita lain untuk melahirkan seorang anak laki-laki. 

Anak laki-laki begitu menjadi sangat penting dalam masyarakat Cina tradisional dengan alasan:
  • Anak laki-laki dapat menyandang nama keluarga
Hal ini jelas dapat dilihat dari sistem yang dianut oleh masyarakatnya. Harapan bertumpu pada anak laki-laki agar sebuah keturunan tidak mati. Perempuan dalam konteks ini akan mengikuti marga suaminya dan diharapkan oleh pihak keluarga suami untuk dapat melahirkan anak laki-laki.  
  • Dapat meneruskan untuk menyembah leluhurnya
Dalam penyembahan terhadap leluhur, haruslah dilakukan anak laki-laki dan diikuti oleh istrinya. Seorang istri tidak diperkenankan menyembah leluhur kedua orangtuanya lagi jika sudah bersuami. Maka dari itu sangat penting bagi mereka untuk memiliki seorang anak laki-laki dalam keluarga agar hubungan antara keluarga dengan leluhur tetap terjaga. Jika tidak dipercaya akan terputus hubungannya dan menandakan tidak ada bakti/bu xiao. Jadi tidak melahirkan anak laki-laki sama dengan melawan bakti.
  • Anak laki-laki dapat lebih membantu pekerjaan
Sektor pekerjaan mayoritas adalah bertani. Bertani membutuhkan tenaga yang banyak sehingga perempuan yang dinilai lemah, jelas tidak dapat membantu dan hanya membuat repot saja jika diajak bekerja, di samping keterbatasan gerak yang diakibatkan oleh footbinding. Tak jarang footbinding dapat mengakibatkan kematian bagi para remaja yang telah dipaksa orangtuanya untuk mengikat kaki-kaki mereka dengan apapun agar tidak bertumbuh dan tetap kecil.

Kesimpulanku, kaum perempuan sejak berabad-abad lalu telah melewati masa-masa sulit. Dalam pandangan universal, mereka selalu dituntut untuk menjadi apa yang sesuai dengan tradisi dan budaya. Setiap negara, pulau dan wilayah pun berbeda-beda pula mindset yang ditanamkan terhadap keberadaan kaum perempuan. Entah standar kecantikan, standar kebaikan, standar idel dan standarisasi lainnya yang tak jarang membuat mereka tertekan.

Dan dalam hal ini, perempuan Cina tradisional telah menjalani pergulatan budaya dalam mencapai standar-standar yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka. Dipaksa untuk menerima dan diam saja akan segala bentuk-bentuk pencapaian standarisasi tersebut yang tak jarang berujung pada perasaan tertekan, terpojok dan selalu menjadi nomor dua.

Dan terakhir, mengutip perkataan Xinran, seorang aktifis perempuan Cina mengatakan,
"Ketika perempuan datang ke dunia, mereka ingin menjadi yang terbaik - saudara perempuan yang baik, ibu yang baik, teman yang baik, pasangan yang baik, dan istri yang baik. Perempuan sangatlah baik, karena telah berusaha keras untuk memberi, mencintai, dan peduli kepada keluarga dan orang lain. Tapi karena lingkungan dan budaya mereka, banyak perempuan merasa bahwa dirinya TIDAK BAIK."

Parung-Bogor
15/17/2012
0:39

      



2 komentar:

{ Luciana Prihatini } at: 10 Maret 2016 pukul 22.46 mengatakan...

maaf, koq tidak ada sumber kepustakaanya...??? ini hasil penelitian atau apa????

{ Unknown } at: 17 Oktober 2017 pukul 05.07 mengatakan...

Ikkeh dayoo

Posting Komentar