Pages

Diam

Selasa, 07 Juli 2015
Perempuan Berkalung Surban merupakan film yang tidak terlupakan buatku. Berkali-kali kutonton dan selalu memancing emosi. Mungkin sosok Annissa merupakan sosok yang sangat kurindukan dalam kehidupan.
Aku ingat dengan salah satu scene dimana Annissa berdialog dengan ibunya.

"Kenapa selama ini Umi hanya diam?"

" Diam bukan berarti tidak membela, Nissa. Ada hal yang kadang tidak bisa kita lakukan, seperti yang kita inginkan. Kita adalah perempuan yang hidup dalam kondisi yang tidak seimbang, seperti yang sering kamu bilang. Yang Umi lakukan cuma bisa diam. Mungkin kamu nggak setuju. Tapi pada waktu itu, sewaktu Umi melawan...hancur keluarga ini".

Sosok Nyai yang diperankan Widyawati sangat memperkaya emosi pada film ini. Itu lumayan cukup menggambarkan sikap wanita yang kuat dan tegar dengan mengambil "jalan pintas" yaitu diam.

Kakak pernah bilang, diam merupakan sikap tengah. Tidak menyalahkan juga tidak membenarkan. Diam adalah sikap yang paling aman.

Nenekku juga termasuk orang yang mengambil jalan tengah; diam. Mungkin pada saat jamannya, beliau hidup pada kondisi yang tidak seimbang juga lingkungan tempat beliau bertumbuh dan berkembang.
Dengan diam, nenek terus melanjutkan pendidikannya hingga sekolah guru, mengindahkan cibiran tetangga dan adik-adik perempuannya yang telah menikah muda. Dan dalam diam, nenek terus menjalani kehidupannya yang keras.

Tapi kupikir selamanya diam juga akan sakit. Seperti kelanjutan dialog di atas yang dikatakan oleh Annissa,

"tapi suatu saat juga Umi harus bilang, apa yang Umi rasakan, apa yang Umi pikirkan. Umi ga bisa selamanya diam aja".

___________________________________________________________________________

Kurasa masa itu sudah lewat. Kondisi telah banyak berubah. Ada banyak pergeseran-pergeseran nilai yang telah terjadi pada generasi perempuan saat ini.

Semoga kelak ke depannya aku akan dapat selalu menyuarakan pendapatku tanpa harus mengorbankan keluarga yang akan kubina kelak.

0 komentar:

Posting Komentar