Pages

Film dan Selera Pasar

Selasa, 07 Juli 2015

Malam ini, ada banyak hal yang ingin kubicarakan. Selama UAS, ia seakan mengendap-endap, bersembunyi entah dimana, menggumpal bersiap untuk meledak pada hari Kamis malam.
Kadang pikiranku sulit dikendalikan. Aku punya kebiasaan suka berpikir menerka, loncat kesana-kemari seperti kodok, sehingga kadang tulisanku tidak terstruktur dengan jelas.Kadang omonganku sangat cepat (kata teman-teman sebangsa dan setanah air) sehingga banyak yang salah mengerti akan pemahamanku.
Oke, itu sepintas tentang uneg-uneg hari ini.

Tadi ketika aku membaca koran bersama geng 3 Idiot (Nova dan Zikra) di lantai atas, koleksi 800, ada yang menarik perhatianku setelah sekian lama kuabaikan.Ada judul film yang dapat mengganggu saraf keseriusan orang, yaitu "Kakek Cangkul".

Sebelumnya sudah terjadi percakapan sebelum kejadian membaca koran ini.
" Tau nggak, kemarin kan ada judul bioskop namanya Suster Keramas, habis itu ada lagi yang judulnya Nenek Gayung, terus adalagi yang judulnya Kakek Cangkul".
" Besok ada yang bikin film horor judulnya Cucu Sabun, wkwkwk!", kata Zikra.
" Habis itu judulnya Cicit Odol! Hahaha...", timpal Nova.
" Hahaaaa. Emang ceritanya itu gimana sih Nov? Kok horor pakai bawa nama gayung segala?", tanyaku heran.
" Jadi gini, neneknya itu mati dibunuh sama gayung. Trus kalau mau hantuin, dia muncul di kamar mandi pas orang lagi mandi sambil nawarin "mau dimandiin sama nenek?". Trus orangnya mati deh gitu".
" Hah, kok aneh banget! Judulnya bikin ngakak deh~".

Yah, itu sekilas dialog nyata antara aku dan 2 sahabatku. Omongan itu langsung membuat otakku bekerja. Kepingan pikiran kemarin-kemarin yang berusaha kukumpulkan.

Seingatku, memang film horor Indonesia sudah diwarnai bumbu-bumbu lain sejak zaman aku masih SD. Film-film Suzana merupakan contoh nyata, dari film horor berbumbukan realita sosial, masalah ekonomi dan kriminalitas, juga beberapa kesalahan prosedur. Masih klise, berlandaskan hitam putih, mana yang baik mana yang jahat. Lalu hantu bisa diusir dengan membaca Qur’an, sampai dia kepanasan dan hangus. Dulu aku menontonnya dengan seksama sampai takut mau ke wc sendirian.
Ada sebuah film horor yang saya lupa judulnya apa, yang ketika itu saya ikut nimbrung nonton di laptop teman. Disana ada adegan Jupe lagi ketakutan ngeliat hantu, tapi bukannya hantunya yang dishoot malah si Jupe yang dominan dishoot. Haha~ kayaknya sutradaranya sakit jiwa nih. Orang nonton film horor kan untuk ngerasain adrenalin ketakutannya akan melihat hantu, lah ini malah si Jupe yang dishoot mulu. Ckckck~
Dan yang saya heran, banyak yang bilang bahwa film-film horor sekarang konyol semua, tidak ada yang berkualitas. Lalu kenapa tetap bermunculan film-film sejenisnya saat ini? Bukannya suatu produksi mengikuti selera pasar ya?

Saya jadi teringat cuplikan kata pengantar dari Goenawan Mohamad pada buku yang berjudul Utan Kayu. Begini dia bilang;
“ Tetapi tahun 1996-1998 juga sebuah periode ketika modal dan pasar kian lama kian menjadi pemain utama dalam percaturan sosial..... Karena desakan pasar yang tak terbendung, orang film Indonesia hanya melahirkan karya-karya yang semakin lama semakin dibuat asal-banyak dan asal-cepat. Karena dominasi pasar pula galeri-galeri hanya memasang karya yang sudah dipastikan laku, buku-buku yang “berat” tidak diproduksi, seni tari digiring untuk melayani pariwisata sementara pemain-pemain orkes yang bagus menghabiskan bakatnya di lobi-lobi hotel. Jangan mengharap untuk melahirkan yang “baru”( hal yang mengagetkan atau membingungkan) atau untuk menjelajah yang alternatif. Apalagi bila diatas pertimbangan pasar itu bekerja pula pengawasan negara: siapa yang bikin heboh akan dihabisi dan modal pun bisa rugi untuk mencoba-coba.”

Dan pernyataan Goenawan Mohamad terbukti akan film yang dibuat semakin asal-asalan saja. Entah judulnya yang kontroversial-lah (yang mengarah kepada ekspektasi lain), poster film yang dibuat asal jadi-lah, dan yang terpenting laku.
Negeriku tercinta ini, semakin kontroversial dia semakin laku. Jadi tidak jarang ada yang membuat kontroversi dulu, entah berantemlah, kasus skandal video-lah, kasus selingkuh-lah; lalu main film sebagai tokoh utama. Betapa jenaka-nya sistem disini.

Dan untuk masalah musik, yah lagi-lagi ada masalah penurunan kualitas selera. Budaya pop, lalu bercampur aduk dengan westernisasi dan koreanisasi seperti sekarang, berhasil menggusur kedudukan musik Indonesia menjadi sesuatu yang.... apa ya? Miskin talenta, miskin sense of art.
Ah, tiba-tiba aku jadi ingin mendengar lagu Chrisye dan Gombloh.

0 komentar:

Posting Komentar