Pages

Pengalamanku Menjadi Ronin #Part 1

Selasa, 07 Juli 2015
Ronin? Kalian pernah dengar kata ini?
Oke, mari saya persingkat.

Buat kamu-kamu yang setelah lulus SMA/SMK/MA memutuskan untuk menunda kuliah untuk sementara maka kamu adalah bagian dari ronin. Ronin biasanya memilih untuk menunda kuliahnya dengan berbagai alasan dengan tekad akan kembali lagi pada ujian masuk universitas tahun depan atau tahun depannya lagi.

Ronin diambil dari bahasa Jepang yang berarti samurai yang diasingkan atau dibuang dari klannya; samurai yang pergi dengan diusir/ dengan diusir. Makna ronin sebenarnya begitu dalam karena menggambarkan kemandirian seseorang yang mengembara seorang diri tanpa terikat dengan klan beserta aturan mainnya.
Itu adalah pengertian ronin secara tradisional pada jaman feodal Jepang sebelum negara itu membuka diri pada dunia Barat, sebelum Restorasi Meiji.

Dan untuk jaman sekarang ronin dimaknai lain. Ronin adalah lulusan sekolah menengah yang menunda kuliah, baik yang pernah mengikuti ujian masuk universitas maupun yang belum pernah ikut ujian masuk universitas sama sekali. Latar belakang menjadi ronin ini berbeda-beda; bisa karena gagal ujian masuk universitas yang diinginkan, gagal masuk jurusan yang diincar, karena belum ada biaya sehingga mencari pengalaman kerja terlebih dahulu, masih bingung dengan bidang yang diminati atau karena memang belum siap mental memasuki dunia perkuliahan.

Ronin bagiku merupakan implementasi sederhana dalam awal pilihan hidup. Ronin tidak dipertuan oleh tuntutan dan beban gengsi "belum kuliah" seperti siswa lulusan sekolah menengah pada umumnya. Menjadi ronin merupakan tindakan yang berani karena itu berarti mengorbankan banyak hal; waktu, uang, umur, bahkan semangat.

Tapi menjadi ronin bagiku tidaklah buruk. Aku merupakan ronin angkatan 2010 sejak kapan ronin pakai periode angkatan? :p. Setelah lulus dari SMAN 2 Banjarbaru, sebuah sekolah yang bagiku tanggung dalam mendidik, aku memutuskan hal terbesar dalam hidupku.

Memang, aku menikmati bersekolah di SMA negeri itu, tempat dimana aku menemukan ruang sosial yang cakupannya lebih luas daripada di pesantrenku dulu yang berisi suasana kepolosan santri yang dikurung dengan segenap peraturannya yang kadang bagiku agak ganjil (pakai tipe-x pointnya 3). Dengan heterogenitas kelamin juga membantuku untuk belajar menghadapi lawan jenis dari berbagai usia dan latar belakang. Memberikanku kesempatan untuk berkembang dengan diamanahkan sebuah tugas pada sebuah organisasi siswa ketika itu. Juga diberi kesempatan menjadi anak yang lebih unggul dari segi akademik.

Dan sejak awal aku tahu, walaupun aku menjadi yang terbaik sekalipun di sekolah dan angkatanku, bisa saja masih rendah jika dibandingkan dengan standar sekolah lain di Jakarta sana. Saat itu impianku hanya satu, impian sejak kelas 4 SD; masuk Universitas Indonesia. Dan saat kutanya guru-guru sepuh yang mengajar lama di SMADA, adakah yang pernah masuk UI sebelumnya. Mereka semua menggeleng, "Belum pernah ada, Um".

Hal itu memacu diriku untuk belajar (agak sedikit) keras dibandingkan sebelum-sebelumnya. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa kosong dan hampa; aku belum siap kuliah. Tapi perasaan seperti itu langsung kutepis. Aku berniat mendaftar SIMAK UI. Dan ini kemudian menerbitkan satu pertanyaan; ambil jurusan apa?

Dan tanpa pemikiran yang matang, aku bersama sohibku Rian memiih untuk mengambil ekonomi dan hukum. Dan terbukti bahwa kami gagal. Aku sempat sedih karena kegagalan itu, tapi aku tidak sudi untuk terpuruk. Hanya saja ketika kawan-kawan sibuk mengisi formulir SMUT (ujian masuk UNLAM Banjarmasin), aku merupakan salah satu 4 orang dari teman sekelasku yang tidak berminat mendaftar.

Orang pertama beralasan, dia akan ikut SNMPTN saja yang pendaftarannya 3 bulan lagi. Orang kedua beralasan akan ikut UTUL UGM di Jogja. Dan yang keempat beralasan tidak mau kuliah melainkan membantu orangtua jaga warung saja (dan orang keempat ini sampai sekarang belum mengambi ijasah SMA-nya). Dan tinggalah aku yang masih kebingungan. Aku saat itu berpikir, setidaknya orang keempat itu lebih baik daripadaku karena ia tahu apa yang akan dipilihnya.

Dan semuanya berubah saat pertemuan keluarga besar Ramli. Ada sepupuku yang membicarakan tentang kampung Inggris di Jawa, tapi entah Jawa mana. Pembicaraan singkat dan kurang detil itu membawaku menuju browsing hingga jam 1 malam. Dan voila! Memang benar adanya tentang Kampung Inggris itu, teretak di Pare-Kediri, Jawa Timur. Maka dengan kecepatan copas data, aku men-save untuk ditunjukkan kepada Abah besok pagi. Sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Bah, sejujurnya Umi belum siap untuk langsung kuliah tahun ini. Umi nggak mau jadi manusia robot yang apatis dan mendengarkan dosen di kelas. Umii nggak mau berakhir di daerah bah. Umi harus merantau lagi ke Jawa. Umi janji tahun berikutnya akan berusaha masuk UI. Dan selama 1 tahun "menganggur" ini, Umi mau ke Kampung Inggris. Letaknya di Pare-Kediri, Jawa Timur. Umi mau melancarkan bahasa Inggris bah!", ujarku saat itu ketika menghadapi Abah yang sedang membaca koran di ruang tamu.

Dengan data-data yang lengkap akan gambaran kampung Inggris itu, Abah sangat setuju dengan keputusanku untuk menunda kuliah 1 tahun. Menunda untuk belajar suatu hal yang dipandang sebagai komoditas penting untuk era global; beajar bahasa Inggris.

Dan selama 10 bulan, aku mendalami English sampai tingkat Mastering System yang memungkinkan aku untuk mendapat pengalaman mengajar dan juga pengalaman mengembangkan diri dalam menemukan metode mengajar yang asyik. Dan setelah sempat bekerja pada sebuah lembaga kursus di kota asalku selama satu bulan, aku ditagih oleh Abah; janji akan kuliah tahun ini.

Maka dengan terpaksa aku resign (padahal aku sudah mencintai murid-murid kecilku yang awalnya seperti gasing) dari lembaga itu. Mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas; SNMPTN dan SIMAK UI dengan tujuan yang jelas yaitu jurusan Sosiologi. Maka aku kembali terbang ke Jakarta dengan rencana akan kursus di salah satu bimbel di Depok. Strategi kali ini adalah akan mengikuti aturan main dari sang tuan rumah. Aku akan belajar sesuai standar Jakarta, bukan standar Banjarbaru ataupun Kalsel.

Maka berbekal tekad dan kemauan, aku kembai terbang menuju Pulau Jawa; pulau perantara antara diri dan cita-cita, antara diri dan impian. Dan kali ini aku menuju Sang Ibu yang terkenal kejam; Jakarta.

To be continued

1 komentar:

{ Unknown } at: 16 Agustus 2016 pukul 08.00 mengatakan...

ka ummi aku mau tanya,aku juga gap year tahun ini. dan aku bingung antara bimbel atau belajar english di kampung inggris. di kampung inggris itu harus menetap berbulan-bulan kah?

Posting Komentar