Pages

(Review) Pulang-Leila S. Chudori

Rabu, 08 Juli 2015
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 464 hlm.


Melengkapi bacaan tentang sejarah kiri di Indonesia, saya memilih Pulang. Novel ini mengambil garis linear antara peristiwa G-30 S(PKI) 1965, Revolusi Mahasiswa di Paris pada Mei 1968, Tragedi Kerusuhan Mei 1998, dan Runtuhnya Rezim Orba di Indonesia. Dimas Suryo, Nugroho Dewanto, Tjai, dan Risjaf, adalah empat sekawan yang tidak dapat pulang ke Tanah Air setelah peristiwa September 1965. 

Dimas Suryo, tokoh utama dalam novel ini, awalnya merupakan aktifis yang "netral"di Kantor Berita Nusantara, tidak memihak kiri (PKI dan Lekra) dan kanan (Masjumi). Adalah Hananto, atasan sekaligus mentor Dimaslah yang giat mengajak dan memperkenalkan dirinya dengan kawan-kawan Lekra. Hananto adalah tipikal aktifis sekaligus wartawan berwajah flamboyan yang tidak hanya bersemangat menyerukan komunisme di Indonesia, ia juga sangat bersemangat mengembara ke pangkuan perempuan-perempuan klas proletar walaupun ia sudah beristri. 


Walaupun kadang Dimas menghadiri acara kumpul-kumpul dan diskusi Lekra, ia menolak dan tetap bersikukuh tidak bergabung dengan mereka dan membentengi diri dengan sikap netral. Akan tetapi karena urusan rumah tangga Hananto yang sedang di ujung tanduk, Dimas terpaksa menggantikan Hananto untuk menghadiri konferensi International Organization of Journalist di Santiago, Cile pada September 1965. Perjalanan yang awalnya hanya untuk kunjungan, tertahan oleh kemungkinan akan ikut "diciduk" oleh aparat akibat peristiwa pembantaian para jenderal dan pembuangan jasad mereka di Lubang Buaya yang disinyalir perbuatan PKI. Penangkapan, interogasi, penculikan dan pembunuhan terhadap aktifis, sanak, kerabat, dan siapa pun yang pernah berhubungan dengan PKI pun digencarkan setelah Presiden Soekarno menandatangani perjanjian Supersemar. Dari situlah dimulai pengembaraan Dimas dan kawan-kawan ke beberapa negara, yang akhirnya disepakati menetap di Paris.


Dalam usahanya mencari cara untuk pulang, Dimas Suryo menikah dengan Viviene Deveraux, perempuan yang sangat terpelajar dan mau menerima Dimas dan kawan-kawan walaupun mereka eksil politik Indonesia. Setiap tahun, Dimas dan kawan-kawan mengajukan visa untuk ke Indonesia, akan tetapi pada saat itu juga langsung ditolak oleh KBRI karena ada kegiatan "Bersih Lingkungan" dan "Bersih Diri" yang diserukan oleh pusat.  Untuk mengobati kerinduan akan tanah air, Dimas dan kawan-kawan mendirikan restoran berbentuk badan koperasi yang bernama Restoran Tanah Air.

Walaupun jarak memisahkan, Dimas dan adiknya, Aji masih tetap berhubungan melalui telegram. Dalam surat Aji, selalu terselip kabar Surti, janda Hananto beserta kabar anak-anaknya, Kenanga, Bulan dan Alam. Walaupun sedikit, Dimas kadang mengirim bantuan secara finansial kepada Surti. Dimas dan Surti memiliki hubungan pada saat mereka masih kuliah di Fakultas Sastra & Filsafat UI dan berakhir dengan Surti yang memilih untuk mengakhiri hubungan dan menikah dengan Hananto.

Tahun demi tahun berlalu, Lintang Utara, buah pernikahan Dimas dan Viviene, tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang cerdas di bawah didikan Dimas yang pemuja sastra dan Viviene yang saat itu menjadi dosen di Sorbonne. Saat mengerjakan tugas akhir kuliah, dosen pembimbingnya menganjurkan agar Lintang membuat film dokumenter tentang G-30 S/PKI, di mana ayahnya merupakan bagian dari dampak peristiwa tersebut. Awalnya Lintang merasa Indonesia adalah negara asing sekaligus akrab bagi dirinya. Akhirnya terpaksa ia menemui ayahnya, yang sudah berbulan-bulan tidak ia ajak bicara karena suatu insiden.

Dengan membawa banyak pesan, banyak nama, dan titipan rindu, Lintang pada tahun 1998 menapakkan kakinya di negara asal ayahnya.Dengan bantuan keluarag, koneksi, juga sahabat, Lintang mulai mengerjakan proyek film dokumenter. Di sana ia bertemu dengan nama-nama yang ia sering dengar di Paris seperti Om Aji, Tante Retno, Rama, Andini, Bimo, Surti, Kenanga, Rukmini dan terutama Alam.


* * *

Hampir semua bangsa memiliki memori kolektif, seperti peristiwa genosida bangsa Yahudi yang dilakukan Jerman, genosida pada bangsa Armenia oleh Turki Utsmaniyah atau Revolusi Kebudayaan di RRT. Peristiwa G-30 S/PKI 1965 merupakan salah satu dari sekian memori kolektif bangsa Indonesia.

Mengacu pada peristiwa 1965, dewasa ini banyak sekali buku-buku baik fiksi maupun non fiksi hadir di tengah masyarakat, menguak tabir yang selama ini ditutup-tutupi oleh pemerintah orde baru dan kroni-kroninya. Berbagai kesaksian diungkapkan, ditulis, diberitakan dan dipublikasikan secara luas sehingga menjadi kisah yang kadang mengharukan, kadang memilukan, dan kadang membakar semangat. Peristiwa G-30 S/PKI adalah peristiwa yang tragis yang pernah terjadi di bumi pertiwi ini, yang sampai sekarang pun belum jelas siapa yang harus bertanggung jawab terhadap ribuan pembantaian aktifis PKI dan Gerwani.

Pada pertengahan tahun 2013, saya ikut menonton pemutaran tertutup The Act of Killing, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang mengisahkan tentang bagaimana cara pembantaian orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari setahun (1965-1966). Beberapa kesaksian membuat saya miris karena terlalu kejam jika dilakukan oleh anak manusia kepada anak manusia.

Novel "Pulang" mengangkat hal yang sama walaupun berbeda sudut pandang, yaitu dari korban yang tak dapat pulang ke Tanah Air. Alur yang digunakan adalah alur maju-mundur yang membuat pembaca semakin penasaran dengan akhir kisah novel ini. Gaya bahasa yang digunakan pun ringan dan mengalir secara elegan. Emosi pada cerita begitu dalam karena unsur cinta, perjuangan, dan kemanusiaan bercampur sehingga meninggalkan haru. Saya rasa novel sebagus ini tentu berasal dari wawancara pengalaman pribadi para eksil di luar sana yang tidak dapat pulang selama puluhan tahun.

Keterkaitan antara peristiwa 1965 dengan 1998 merupakan titik yang berkesinambungan, di mana angkatan 1965 menghasilkan korban sanak-keluarga dan kerabat yang juga diciduk aparta yang nantinya akan berjuang menjadi angkatan 1998, yang dalam hal ini bukan saja para mahasiswa, melainkan juga para aktifis LSM dan saksi. Bisa saja hubungan itu ada dan kemungkinannya sangat besar karena masih dalam lingkup masa kecil atau remaja pada saat pembantaian tersebut terjadi.

Selamat membaca :)

0 komentar:

Posting Komentar