Pages

Barang-Barangku Yang Bernyawa

Selasa, 07 Juli 2015
Barang itu hidup. Maksudku bukan dalam artian logis bahwa barang itu seperti makhluk hidup, tapi bagiku ia bernyawa. Betapa banyak barang-barang dan bangunan antik yang sampai sekarang masih terjaga. Tentu saja ia masih dapat bertahan karena fungsi, turun temurun atau karena sayang dari orang-orang sekitarnya semata. Penilaian subjektif-ku ini memang masih sempit. Tapi ada yang ingin kuceritakan.
Ada beberapa barang yang bagiku hidup dan bernyawa. Ia maksudku memiliki makna tersendiri dalam semua perjalanan dan pencapaianku selama ini.

1. Buku: Perjalanan Anak Bangsa

Buku ini sudah ada sejak tahun 1980-an sebagai koleksi pribadi Abah ketika masih muda. Di buku ini masih tertera tandatangan Abah dengan tulisa Arab gundul dan cap harga Rp. 3.500. Buku ini terbitan LP3ES dengan judul “Perjalanan Anak Bangsa; Asuhan dan Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri”. Terdapat 18 kisah nyata dari berbagai sumber yang berbeda latar belakang. Tidak ada yang tidak menarik dalam buku ini. Aku mencintai keseluruha isinya, walaupun kubaca berulang-ulang, setiap bulan, tahun dan seterusnya. Ada saja hal menarik yang kudapati. Seakan-akan buku ini tak pernah habis selesai kubaca halamannya.



Aku menemukan ini terselip di pojokan rak buku pada tahun 2003, kelas 5 SD (aku ingat betul waktu itu). Saat itu aku disuruh membereskan isi lemari buku yang berantakan. Dan saat aku merapikan jajaran buku, aku melihat buku yang benar-benar tua dengan cover menarik. Biasanya aku kurang senang melihat buku tanpa cover yang menarik ketika aku masih SD dulu. Jadi aku ambil saja buku ini dan berniat membuka-buka halaman depan. Membaca sepintas lalu meneruskan pekerjaan rumahku.

Eits, sekalinya sudah 2 jam aku duduk terlena membaca buku ini. Akhirnya aku dimarahi oleh Mama karena lalai akan tugas. Dan sampai sekarang buku ini masih kubawa kemana-mana jika aku berpindah tempat, kecuali Jogja (di pesantren buku ini terlarang).

2. Si Pensil Mekanik Biru


Pensil ini kubeli di toko alat tulis dekat pesantren tahun 2004. Awal kubeli, warnanya biru laut dan sekarang sudah berwarna putih karena sudah lama. Dia menemaniku (selalu) ketika aku menghadapi masa-masa sulit belajar matematika, menulis Arab, imla’ Tarjamah dan selalu siap sedia ketika aku kesal dan menggoreskan isinya ke atas kertas untuk menggambar; membuat animasi laki-laki (entah kenapa aku suka sekali menggambar animasi laki-laki).


Pensil ini sempat hilang dan membuatku stress. Teman-teman di pesantren sampai heran karena aku seperti kehilangan anak. Dan setelah 2 minggu menghilang, tak kepalang girangnya aku ketika menemukan dia tergeletak di pojokan lantai kelas ketika aku sedang piket menyapu.


Perjuangan kami terus berlanjut sampai menghadapi UAN, ia terus menemaniku belajar dan berlatih soal. Ibaratnya sampai buang air aja nggak sempat, waktu digunakan untuk belajar.


Ketika SMA, aku mulai jarang memakai dia untuk pelajaran. Aku lebih sering memakai pulpen pilot yang entah kenapa suka hilang mendadak selamanya dan harus beli lagi. Biasanya ketika pulpen hilang, maka si biru akan kuandalkan. Biru masih kupakai setiap waktu karena aku masih sering membuat animasi. Jika kupakai kadang bisa seharian sampai aku lelah sendiri menggambar.


Ke Pare pun aku bawa ia dan jam kerjanya lebih panjang ketimbang pulpen.

Dan tiba saat aku kuliah, seperti Biru sudah harus dimuseumkan. Aku sempat memakainya 1 semester hingga tidak bisa dipakai lagi. Jadi dengan berat hati aku rehatkan ia di dalam kotak pensilku dan tidak pernah kupakai lagi. Kugantikan dengan pensil mekanik hitam untuk menulis hanzi.


3. Si Item



Dibelikan mama pada tahun 2006. Si Item ini sering kupakai untuk berpetualang ke bukit (di daerahku nggak ada gunung). Ada LDKS OSIS, tiap tahunnya kubawa. 

Mungkin karena nyaman dipakai. Aku ingat waktu aku harus berendam di lumpur bersama kawan-kawan bakal calon anggota OSIS. Item kupakai sampai sekarang sampai warnanya kubas~


Orang rumah sampai heran, kenapa baju hitam kubas yang sudah robek dan kutambal sana-sini itu masih kupakai. Jawabannya simpel; karena nyaman. Selesai~



3. Si Jelek



Yang ini lebih tua daripada Item. Ini sudah ada sejak tahun 2004. Kupakai selalu ketika berlatih PBB, Paduan Suara SD, Pramuka dan main sepak bola sama anak kampung. Dia walaupun sekarang di rumah karena liburan semester kemarin ketinggalan (aku sempat panik waktu baju ini ga ada di koper, lupa naruh), masih terpatri di hati :p



Baju ini tampilannya lebih jelek daripada Item. Sudah robek, kubas dan ga bisa diselamatka lagi. Tapi tetap kupakai di rumah dan di kamar~ hehe



4. Si Tai Cicak SNMPTN



Kenapa sampai namanya hina gitu? Karena mukena ini kubuat sehari setelah pengumuman SNMPTN. Daripada sedih berkepanjangan dan bunuh diri, aku ngacir ke toko kain dan beli kain putih dan hitam. Tanteku sampai heran kenapa tiba-tiba datang bawa kain putih sama kain hitam. Kaya mau ngeguna-guna aja~ haha



Setiap tisikkan jarum dan benang merupakan kekesalanku pada kegagalan SNMPTN ketika itu. Sambil menangis, aku buat mukena ini. Dan ketika selesai, aku shalat dan berdoa bersungguh-sungguh meminta tempat kuliah yang terbaik bagiku oleh-Nya. Eh, Alhamdulillah terkabul~

Kalau ingat kelakuan dulu, jadi geli sendiri. Tapi lebih baik ngejahit mukena kan daripada bunuh diri gara-gara gagal ujian :p



5. Si Bulbul



Bulbul kutemuin di sebuah toko boneka, ketutupan boneka biri-biri yang lagi naik daun. Awalnya aku biasa aja ketika liat dia. Tapi ketika aku pergi menuju rak lain, aku tergerak buat ngelihat boneka panda ini. Akhirnya aku pegang dan aku remas. Lucu!, pikirku.



Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku suka dengan sebuah boneka. Dulu waktu kecil umur 4 tahun aku punya boneka monyet yang tangannya bisa direkatkan dan digantung di pundak. Dan boneka itu disedekahkan ke Elis oleh mama (secara paksa), tetanggaku yang ketika itu ayahnya baru meninggal. Aku sangat-sangat benci dengan Elis ketika melihat boneka monyetku dimain-mainkannya di teras rumah. Mau marah pun tidak bisa karena yang memberikan langsung adalah mama. Sejak saat itu aku tidak punya ketertarikan pada boneka, sebuah pun sampai akhirnya aku menemukan Bulbul.



Sekarang, Bulbul setia di dekat kepalaku ketika tidur. Kadang kujadikan bantal, kadang kumainkan dan kugoyang-goyang sendiri. Bagiku ia sangat lucu dari sudut manapun~ (padahal aku sudah mahasiswa :p ) haha



6. Jimbe



Nah, kalau ini, dengan berat hati kukatakan bahwa dia memang bukan milikku (ceileeeh :p).

Ini punya seorang teman yang mengamanahkan jimbe ini selama 4 tahun kepadaku (bayangkan, 4 tahun!).



Pertemuanku dengan Jimbe ini simpel. Ketika itu aku yang berada di divisi musik dalam penggarapan teater jurusan “Amoyku Sayang, Amoyku Malang” memegang jimbe dan buta sama sekali akan benda ini. Tapi aku mau belajar~ maka setiap hari kupukulkan jari-jariku sampai bengkak hebat. Ada sampai aku tidak bisa menulis hanzi karena bengkak kesakitan. Tapi aku terus berlatih selama 2 bulan sampai sesuai dengan konsep musik teater waktu itu. Kadang kami latihan dari jam 4-3 shubuh. Semua itu kulakukan dengan perasaan tertekan dan ingin bisa. Tapi akhirnya ketika perform, penampilan divisi musik diakui yang paling prima dibanding divisi lain~ Alhamdulillah.



Dan panggilan untuk main, datang lagi di Sinofest XI untuk opening persembahan jurusan. Kali ini kami memainkan lagu-lagu daerah dengan dinamika yang beragam. Aku bertemu dengan senior-senior yang memang jago bermain musik.

Tapi entah kenapa, walaupun hanya berlatih 1 minggu, feel bermain jimbe sangat dapat. Aku bahagia betul ketika main jimbe dan tampil di hadapan Duta Besar Cina untuk Indonesia. Dosen-dosen juga memuji penampilan kami. Ada dosen yang tidak menyangka aku bisa bermain jimbe (mungkin karena jilbabku).



Aku baru sadar bahwa selain jari-jariku (yang sudah kuprediksi akan bengkak seperti biasa), lenga juga bisa biru. Haha~ sama sekali tidak terasa deritanya.



Aku juga pernah jatuh tersungkur ketika bersama jimbe. Ketika itu, malam jam 8.30 (jam-jam bus kuning sudah mau off) aku berjalan menuju halte. Tapi sebelum aku sampai di halte, bus datang. Akhirnya aku berlari kencang sambil memegang jimbe. Voila, aku tersandung batu dan jatuh tersungkur. Untung nggak ada yang robek atau luka~ ada sedikit rasa anyir di mulutku. Mungkin ada darah sedikit. Dan aku masih keburu naik bus, syukur banget deh waktu itu!



Aku pernah menyatakan niatku kepada si pemilik jimbe agar kubeli saja jadi milikku. Tapi ia menolak dan berkata pakai saja selama 4 tahun, selama kita kuliah. Sampai sekarang aku masih terus membujuk dia untuk menjual jimbe ini kepadaku. Dan perjuangan masih terus berlanjut sampai dia mau.



Habisnya kalau beli jimbe baru dan melepaskan ini, maknanya berkurang~  





0 komentar:

Posting Komentar